Tanggal 27 Juli 2018 sebuah fenomena langka terjadi. Fenomena planet Mars berada pada jarak terdekat dengan Bumi. Seperempat lebih dekat jika mengutip informasi yang beredar di portal-portal berita online. Menariknya lagi, fenomena langka ini mengiringi fenomena langka lainnya. Purnama sedang sempurna-sempurnanya, 28 Juli waktu dini hari, terjadi pula gerhana bulan total atau super blood moon. Saya selalu merasa takjub dengan fenomena langit, meski tidak melulu menyaksikan.
Oposisi Mars mendekati Bumi bukan yang pertama kalinya. Fenomena ini sering terjadi beberapa tahun sekali. Pertama kali saya mendengar Mars dekat dengan bumi dan bisa disaksikan dengan mata telanjang pada saat saya masih SD. Tahun 2003 kalau tidak salah, karena saat itu saya masih tinggal di Simpang Tiga, dan baru pindah ke Pasir Putih tahun 2005. Saya juga sudah mencari berita-berita tentang fenomena ini di tahun-tahun sebelumnya. Sempat terjadi di tahun 2016, 2007, dan 2003. Tahun 2003 sepertinya lebih masuk akal untuk menceritakan kisah ini.
Tahu bahwa planet Mars akan berada dekat dengan Bumi membuat saya penasaran, seperti apa penampakannya. Katanya, kita bisa menyaksikan fenomena ini dengan mata telanjang. Nyatanya, ukuran planet Mars yang bisa disaksikan dengan mata telanjang itu hanya pijaran cahayanya saja. Tidak berbentuk utuh, bulat sebesar bulan, seperti ekspektasi saya yang merupakan seorang siswi sekolah dasar.
Jika melihat dengan mata telanjang, pijaran cahaya planet Mars yang disebut-sebut dekat dengan Bumi itu memang tampak berbeda. Jika bintang-bintang lain yang menghiasi angkasa berpijar dengan cahaya putih, Mars berwarna merah terang. Jelas sekali perbedaannya. Belum puas hanya melihat pijarannya saja, informasi yang saya terima jika ingin melihatnya lebih dekat adalah menggunakan teleskop.
Apalah daya siswi SD yang tinggal di Tarakan ini? Jangankan teleskop, tempat peneropongan bintang seperti Bosscha di Bandung, ya tak ada lah!
Namun, ada satu harapan saat itu. Sebagai siswi SD yang ingin tahu, saya harus memanfaatkan berbagai macam benda-benda di rumah. Salah satu yang menjadi harapan untuk bisa melihat planet Mars dengan mata kepala sendiri adalah teropong binocular. Sayangnya, teropong ini adalah mainan adik saya, Arif. Alih-alih bisa melihat planet Mars, ketika saya hadapkan teropong berwarna biru dengan lis silver itu ke langit, saya hanya mendapatkan pijaran cahaya planet Mars yang sedikit mendekat pada mata saya. Cahayanya pun berbintik-bintik, karena teropong itu bukan benda yang layak digunakan untuk penelitian antariksa.
Mengingat kejadian ini, sepertinya saya harus menabung dan membeli teleskop untuk fenomena-fenomena langit di masa akan datang. Kelak saya memiliki anak, lalu dia penasaran dengan benda-benda angkasa, saya bisa memberikan sesuatu yang layak untuk dia gunakan. Hehehe...
***
Oposisi Mars mendekati Bumi bukan yang pertama kalinya. Fenomena ini sering terjadi beberapa tahun sekali. Pertama kali saya mendengar Mars dekat dengan bumi dan bisa disaksikan dengan mata telanjang pada saat saya masih SD. Tahun 2003 kalau tidak salah, karena saat itu saya masih tinggal di Simpang Tiga, dan baru pindah ke Pasir Putih tahun 2005. Saya juga sudah mencari berita-berita tentang fenomena ini di tahun-tahun sebelumnya. Sempat terjadi di tahun 2016, 2007, dan 2003. Tahun 2003 sepertinya lebih masuk akal untuk menceritakan kisah ini.
Tahu bahwa planet Mars akan berada dekat dengan Bumi membuat saya penasaran, seperti apa penampakannya. Katanya, kita bisa menyaksikan fenomena ini dengan mata telanjang. Nyatanya, ukuran planet Mars yang bisa disaksikan dengan mata telanjang itu hanya pijaran cahayanya saja. Tidak berbentuk utuh, bulat sebesar bulan, seperti ekspektasi saya yang merupakan seorang siswi sekolah dasar.
Jika melihat dengan mata telanjang, pijaran cahaya planet Mars yang disebut-sebut dekat dengan Bumi itu memang tampak berbeda. Jika bintang-bintang lain yang menghiasi angkasa berpijar dengan cahaya putih, Mars berwarna merah terang. Jelas sekali perbedaannya. Belum puas hanya melihat pijarannya saja, informasi yang saya terima jika ingin melihatnya lebih dekat adalah menggunakan teleskop.
Apalah daya siswi SD yang tinggal di Tarakan ini? Jangankan teleskop, tempat peneropongan bintang seperti Bosscha di Bandung, ya tak ada lah!
Namun, ada satu harapan saat itu. Sebagai siswi SD yang ingin tahu, saya harus memanfaatkan berbagai macam benda-benda di rumah. Salah satu yang menjadi harapan untuk bisa melihat planet Mars dengan mata kepala sendiri adalah teropong binocular. Sayangnya, teropong ini adalah mainan adik saya, Arif. Alih-alih bisa melihat planet Mars, ketika saya hadapkan teropong berwarna biru dengan lis silver itu ke langit, saya hanya mendapatkan pijaran cahaya planet Mars yang sedikit mendekat pada mata saya. Cahayanya pun berbintik-bintik, karena teropong itu bukan benda yang layak digunakan untuk penelitian antariksa.
***
Mengingat kejadian ini, sepertinya saya harus menabung dan membeli teleskop untuk fenomena-fenomena langit di masa akan datang. Kelak saya memiliki anak, lalu dia penasaran dengan benda-benda angkasa, saya bisa memberikan sesuatu yang layak untuk dia gunakan. Hehehe...
Komentar
Posting Komentar