Pagi di hari Minggu, setelah malam keputusan Bowo membawaku pada perasaan "sok kuat", padahal rapuh. Saya screenshots percakapan terakhir dengan Bowo, lalu saya kirim ke Andini dan Vivi. Andini lalu menelepon, saya hanya tertawa.
"Kok bisa sih. Baru aja tadi malam diomongin Al, Al.. Bisanya," ujarnya tak percaya.
"Hahahaha... Entahlah. Mungkin sudah lelah," jawab saya sambil tertawa membayangkan lagi kejadian semalam. Sungguh konyol. Tak bisa lagi diungkapkan bagaimana rasanya.
Saya tetap harus bekerja pagi itu. Semakin harus fokus bekerja dengan kabar menghebohkan di pagi hari. Teror bom di Surabaya. Saya pergi ke kantor pukul 8 pagi, jadwal piket saya hari itu sampai pukul 4 sore. Di kantor, saya kira ada lagi wartawan-wartawan lain yang iseng datang. Tapi saya sadar, "oh, iya Minggu. Tidak banyak kepentingan di akhir pekan".
Saya duduk menghadap komputer, berusaha tidak dulu mengingat-ingat Bowo. Fokus, harus fokus. Setiap menit saya memantau berita teror bom Surabaya, jika ada kabar terbaru sesegera mungkin meng-updatenya di portal online Tribun Kaltim. Begitu juga dengan berita-berita lainnya. Jangan sampai, judul berita tertulis nama Bowo di sana. Tapi mendekati pukul 10, semakin saya merasa tak tahan menahan luka yang baru saja dibuatnya. Sendiri di kantor, sepi, semakin sakit rasanya.
Saya berpikir untuk kembali ke kost dan bekerja dari kost saja. Perasaan saat itu pun lapar, tapi membayangkan nasi masuk ke mulut saja rasanya tak kuasa. Hilang rasa lapar, hanya perasaan gelisah. Tapi saya tidak boleh seperti itu, harus ada energi. Ini bukan masalah tak bisa makan, ini kebutuhan tubuh. Lagi-lagi yang teringat pesan Bowo dulu saat saya malas makan.
"Makan itu bukan karena pengen gak pengen. Itu kebutuhan tubuh," katanya dulu.
Menuju kost, saya singgah ke Indomaret membeli roti dan setoples kurma. Setidaknya, energinya memenuhi. Kurma juga kaya protein dan glukosa kan? Cukuplah untuk menambah stamina bekerja sampai sore.
Tiba di kost, perasaanku malah kembali sedih. Saya menangis lagi. Bingung harus apa, karena benar-benar sendiri. Saya pun menge-chat Putri.
"Lagi di mana, Put?"
"Di rumah. Kenapa, Fi?"
"Bisa ke kost ku gak, Put?"
"Kamu kenapa?"
"Aku diputusin Bowo," membalas chat itu sambil menangis.
"Tunggu sebentar aku ke sana. Tapi aku gak bisa lama-lama, ya. Paling sampai jam 2 aja. Aku ada kegiatan," katanya.
Tak lama Putri pun datang. Herannya, setiap saya kenapa-kenapa, Putri pasti punya waktu luang. Bahkan, lebih sering lagi saat saya belum cerita, dia sudah akan mendatangi saya lebih dulu. Yang menjadikan, Putri sebagai orang pertama yang mengetahui cerita-cerita saya. Mungkin hati kami sudah tersinkronisasi.
Kehadiran Putri cukup menghiburku. Saya ceritakan kronologis kejadian semalam. Putri senyum-senyum saja. Sebenarnya, Putri pernah lebih menderita. Dia pernah mengalami perasaan yang sama. Ditinggal bekerja di luar kota oleh kekasihnya dan menjalani hubungan jarak jauh. Namun, hubungan tersebut tak bertahan. Menjelang tiga tahun hubungan mereka, Putri diputusin tanpa alasan yang jelas. Kami berasumsi kekasihnya punya hubungan dengan wanita lain di sana, karena sempat beredar fotonya bersama wanita lain.
Putri menyuruh saya menangis sepuasnya, jangan ditahan, jangan dipendam, keluarkan saja. Menangis saya dipangkuannya dengan wajah dibenamkan di atas bantal. Dielus-elusnya punggung dan pundakku sampai akhirnya saya tenang.
"Aku ngerti kok rasanya. Puas-puasin aja nangisnya. Gak papa," kata Putri.
"Tapi gak ada alasannya, Put. Kami gak ada masalah" kataku.
"Iya, dulu juga aku gak ada masalah. Terus dia sengaja nyari-nyari masalah yang kamu tau sendiri lah sudah ceritanya"
"Hmm... Iya. Parah sih. Bang Bobby sama Bowo junior senior kan, Put. Cowok jurusan mereka kejam-kejam, ya. Hehehe," kataku mulai bercanda.
"Iya, ya... Kejam, ya". Putri juga tertawa.
Tak bisa lama-lama, Putri pamit pulang. Dia ada kegiatan dengan komunitas mengajar. Begitulah Putri menjalani hari-harinya. Selain bekerja, dia aktif di komunitas mengajar untuk mengisi waktu luang. Katanya biar tidak terus-menerus galau harus punya banyak kegiatan. Putri yang saya kenal dulu sering kali pesimis, tapi pola berpikir itu mulai diubahnya. Dia menjadi wanita yang selalu berpikir positif.
"Kamu jangan lupa makan. Jangan sampai gak makan," pesannya sebelum pulang.
Perasaan saya mulai lega, tapi saya hanya bisa menyantap kurma. Belum ada daya untuk makan lebih banyak. Kurma juga sehat kok.
Selesai pekerjaan saya sore itu. Teman saya yang lain menghubungi. Namanya Fatima. Dia mengajak saya ke kostnya. Kebetulan sekali, saya tidak ingin sendirian.
Sebelum ke kostnya, saya menceritakan bagaimana keadaan saya saat itu.
"Aku memang butuh teman ini"
"Kenapa kamu? Kita masak-masak yok, Fi" ajaknya.
Kebetulan saya memang harus banyak beraktivitas.
Fatima baru saja pindah kost. Kost yang kamarnya lebih luas untuk berdua. Iya, Fatima sudah menikah, tapi suaminya di Samarinda. Sementara ia bekerja di Balikpapan. Pertama kali kenal Fatima saat saya meliput acara Jak Cloth di Samarinda. Kekasihnya, yang kini menjadi suaminya mengisi acara musik saat itu. Sejak dia menjadi narasumberku, kami akhirnya akrab dan suka nongkrong bareng di Balikpapan.
Sampai di kostnya, Fatima menyambutku.
"Hai, Alfi. Kamu kenapa tuh?"
"Kenapa? Gak kenapa-kenapa," kataku.
"Apanya yang gak kenapa-kenapa. Mukamu kaya zombie gitu. Mata bengkak. Hahaha... Ayok, masuk-masuk," perhatian sih, tapi ngolok banget.
Dibercandain oleh Fatima buat saya tertawa. Dia kasih saya coklatnya yang masih ada di dalam kulkas.
"Nih, coklat, Fi. Biar gak galau lagi. Nih, ada juga nastar. Habisin aja"
"Iya, kita masak-masak juga kan nih. Anti kurus-kurus deh aku pokoknya. Biar galau, tetap harus makan," saya juga membawa kurma yang saya beli tadi.
Eksperimen itu saya unggah ke Instagram Story saya. Tanpa diduga, Bowo mengomentari.
"Kok bisa?" tanyanya.
Rasanya saat itu ingin membalas dengan baik-baik saja. Tapi Fatima menyarankan untuk membalas lebih jutek.
Jadi saya membalas, "ya bisalah. Diputusin tiba-tiba aja bisa".
Setelah itu tidak ada lagi balasannya.
Tidak lama kemudian, saat saya sedang asyik ngobrol dengan Fatima, Bowo menelepon.
"Halo, lagi di mana?"
"Di kost Fatima. Kenapa?"
"Kamu sehat-sehat aja kah?"
"Iya, sehat. Kamu lagi di mana?"
"Biasa"
"Oh.. Eh, Selasa aku balik ke Samarinda"
"Ku jemput kah?"
"Masih mau?"
"Banyak kerjaan sih. Ya udah. Aku lagi di kamar mandi nih. Aku tutup gak pakai salam ya"
"Oh, iya. Assalamu'alaikum".
Terputus.
Malam itu di kost Fatima, saya merasa lebih tenang. Saya merasa dihargai oleh orang-orang di sekeliling saya. Tak henti-hentinya, dalam hati saya mengucap syukur dengan semua perhatian teman-teman saya.
Saya mulai berpikir positif untuk ketidakadilan ini. Tak baik rasanya berangsur-angsur merasa patah hati. Perasaan kecewa itu datangnya dari pikiran. Pikiran kita yang membawa pada kenangan. Hal-hal romantis, kebiasaan saat bersama. Padahal, tahu kah kalian patah yang lebih patah? Kalau kita tak mampu bersyukur.
Saya belajar mensyukuri pria itu mengakhirnya. Selain saya berterima kasih atas kebaikan-kebaikannya, meminta maaf atas kesalahan-kesalahan saya. Saya juga bersyukur, setidaknya keturunan saya nanti tidak mewarisi tabiatnya. Sifat pengecut dan lemahnya dia. Syukurlah...
"Kok bisa sih. Baru aja tadi malam diomongin Al, Al.. Bisanya," ujarnya tak percaya.
"Hahahaha... Entahlah. Mungkin sudah lelah," jawab saya sambil tertawa membayangkan lagi kejadian semalam. Sungguh konyol. Tak bisa lagi diungkapkan bagaimana rasanya.
Saya tetap harus bekerja pagi itu. Semakin harus fokus bekerja dengan kabar menghebohkan di pagi hari. Teror bom di Surabaya. Saya pergi ke kantor pukul 8 pagi, jadwal piket saya hari itu sampai pukul 4 sore. Di kantor, saya kira ada lagi wartawan-wartawan lain yang iseng datang. Tapi saya sadar, "oh, iya Minggu. Tidak banyak kepentingan di akhir pekan".
Saya duduk menghadap komputer, berusaha tidak dulu mengingat-ingat Bowo. Fokus, harus fokus. Setiap menit saya memantau berita teror bom Surabaya, jika ada kabar terbaru sesegera mungkin meng-updatenya di portal online Tribun Kaltim. Begitu juga dengan berita-berita lainnya. Jangan sampai, judul berita tertulis nama Bowo di sana. Tapi mendekati pukul 10, semakin saya merasa tak tahan menahan luka yang baru saja dibuatnya. Sendiri di kantor, sepi, semakin sakit rasanya.
Saya berpikir untuk kembali ke kost dan bekerja dari kost saja. Perasaan saat itu pun lapar, tapi membayangkan nasi masuk ke mulut saja rasanya tak kuasa. Hilang rasa lapar, hanya perasaan gelisah. Tapi saya tidak boleh seperti itu, harus ada energi. Ini bukan masalah tak bisa makan, ini kebutuhan tubuh. Lagi-lagi yang teringat pesan Bowo dulu saat saya malas makan.
"Makan itu bukan karena pengen gak pengen. Itu kebutuhan tubuh," katanya dulu.
Menuju kost, saya singgah ke Indomaret membeli roti dan setoples kurma. Setidaknya, energinya memenuhi. Kurma juga kaya protein dan glukosa kan? Cukuplah untuk menambah stamina bekerja sampai sore.
Tiba di kost, perasaanku malah kembali sedih. Saya menangis lagi. Bingung harus apa, karena benar-benar sendiri. Saya pun menge-chat Putri.
"Lagi di mana, Put?"
"Di rumah. Kenapa, Fi?"
"Bisa ke kost ku gak, Put?"
"Kamu kenapa?"
"Aku diputusin Bowo," membalas chat itu sambil menangis.
"Tunggu sebentar aku ke sana. Tapi aku gak bisa lama-lama, ya. Paling sampai jam 2 aja. Aku ada kegiatan," katanya.
Tak lama Putri pun datang. Herannya, setiap saya kenapa-kenapa, Putri pasti punya waktu luang. Bahkan, lebih sering lagi saat saya belum cerita, dia sudah akan mendatangi saya lebih dulu. Yang menjadikan, Putri sebagai orang pertama yang mengetahui cerita-cerita saya. Mungkin hati kami sudah tersinkronisasi.
Kehadiran Putri cukup menghiburku. Saya ceritakan kronologis kejadian semalam. Putri senyum-senyum saja. Sebenarnya, Putri pernah lebih menderita. Dia pernah mengalami perasaan yang sama. Ditinggal bekerja di luar kota oleh kekasihnya dan menjalani hubungan jarak jauh. Namun, hubungan tersebut tak bertahan. Menjelang tiga tahun hubungan mereka, Putri diputusin tanpa alasan yang jelas. Kami berasumsi kekasihnya punya hubungan dengan wanita lain di sana, karena sempat beredar fotonya bersama wanita lain.
Putri menyuruh saya menangis sepuasnya, jangan ditahan, jangan dipendam, keluarkan saja. Menangis saya dipangkuannya dengan wajah dibenamkan di atas bantal. Dielus-elusnya punggung dan pundakku sampai akhirnya saya tenang.
"Aku ngerti kok rasanya. Puas-puasin aja nangisnya. Gak papa," kata Putri.
"Tapi gak ada alasannya, Put. Kami gak ada masalah" kataku.
"Iya, dulu juga aku gak ada masalah. Terus dia sengaja nyari-nyari masalah yang kamu tau sendiri lah sudah ceritanya"
"Hmm... Iya. Parah sih. Bang Bobby sama Bowo junior senior kan, Put. Cowok jurusan mereka kejam-kejam, ya. Hehehe," kataku mulai bercanda.
"Iya, ya... Kejam, ya". Putri juga tertawa.
Tak bisa lama-lama, Putri pamit pulang. Dia ada kegiatan dengan komunitas mengajar. Begitulah Putri menjalani hari-harinya. Selain bekerja, dia aktif di komunitas mengajar untuk mengisi waktu luang. Katanya biar tidak terus-menerus galau harus punya banyak kegiatan. Putri yang saya kenal dulu sering kali pesimis, tapi pola berpikir itu mulai diubahnya. Dia menjadi wanita yang selalu berpikir positif.
"Kamu jangan lupa makan. Jangan sampai gak makan," pesannya sebelum pulang.
Perasaan saya mulai lega, tapi saya hanya bisa menyantap kurma. Belum ada daya untuk makan lebih banyak. Kurma juga sehat kok.
***
Selesai pekerjaan saya sore itu. Teman saya yang lain menghubungi. Namanya Fatima. Dia mengajak saya ke kostnya. Kebetulan sekali, saya tidak ingin sendirian.
Sebelum ke kostnya, saya menceritakan bagaimana keadaan saya saat itu.
"Aku memang butuh teman ini"
"Kenapa kamu? Kita masak-masak yok, Fi" ajaknya.
Kebetulan saya memang harus banyak beraktivitas.
Fatima baru saja pindah kost. Kost yang kamarnya lebih luas untuk berdua. Iya, Fatima sudah menikah, tapi suaminya di Samarinda. Sementara ia bekerja di Balikpapan. Pertama kali kenal Fatima saat saya meliput acara Jak Cloth di Samarinda. Kekasihnya, yang kini menjadi suaminya mengisi acara musik saat itu. Sejak dia menjadi narasumberku, kami akhirnya akrab dan suka nongkrong bareng di Balikpapan.
Sampai di kostnya, Fatima menyambutku.
"Hai, Alfi. Kamu kenapa tuh?"
"Kenapa? Gak kenapa-kenapa," kataku.
"Apanya yang gak kenapa-kenapa. Mukamu kaya zombie gitu. Mata bengkak. Hahaha... Ayok, masuk-masuk," perhatian sih, tapi ngolok banget.
Dibercandain oleh Fatima buat saya tertawa. Dia kasih saya coklatnya yang masih ada di dalam kulkas.
"Nih, coklat, Fi. Biar gak galau lagi. Nih, ada juga nastar. Habisin aja"
"Iya, kita masak-masak juga kan nih. Anti kurus-kurus deh aku pokoknya. Biar galau, tetap harus makan," saya juga membawa kurma yang saya beli tadi.
Di kost Fatima, kami pun bereksperimen memasak nasi goreng menggunakan magic jar. Bahan-bahannya sederhana, hanya wortel, buncis, jagung, beras, dan bumbu racik nasi goreng yang dimasak jadi satu dalam magic jar. Kami juga menambahkan garam dan gula. Rasanya? Lumayan lah. Tidak buruk-buruk amat. Mungkin jika ditambahkan ayam dan bawang goreng lebih nikmat.
Eksperimen itu saya unggah ke Instagram Story saya. Tanpa diduga, Bowo mengomentari.
"Kok bisa?" tanyanya.
Rasanya saat itu ingin membalas dengan baik-baik saja. Tapi Fatima menyarankan untuk membalas lebih jutek.
Jadi saya membalas, "ya bisalah. Diputusin tiba-tiba aja bisa".
Setelah itu tidak ada lagi balasannya.
Tidak lama kemudian, saat saya sedang asyik ngobrol dengan Fatima, Bowo menelepon.
"Halo, lagi di mana?"
"Di kost Fatima. Kenapa?"
"Kamu sehat-sehat aja kah?"
"Iya, sehat. Kamu lagi di mana?"
"Biasa"
"Oh.. Eh, Selasa aku balik ke Samarinda"
"Ku jemput kah?"
"Masih mau?"
"Banyak kerjaan sih. Ya udah. Aku lagi di kamar mandi nih. Aku tutup gak pakai salam ya"
"Oh, iya. Assalamu'alaikum".
Terputus.
***
Malam itu di kost Fatima, saya merasa lebih tenang. Saya merasa dihargai oleh orang-orang di sekeliling saya. Tak henti-hentinya, dalam hati saya mengucap syukur dengan semua perhatian teman-teman saya.
Saya mulai berpikir positif untuk ketidakadilan ini. Tak baik rasanya berangsur-angsur merasa patah hati. Perasaan kecewa itu datangnya dari pikiran. Pikiran kita yang membawa pada kenangan. Hal-hal romantis, kebiasaan saat bersama. Padahal, tahu kah kalian patah yang lebih patah? Kalau kita tak mampu bersyukur.
Saya belajar mensyukuri pria itu mengakhirnya. Selain saya berterima kasih atas kebaikan-kebaikannya, meminta maaf atas kesalahan-kesalahan saya. Saya juga bersyukur, setidaknya keturunan saya nanti tidak mewarisi tabiatnya. Sifat pengecut dan lemahnya dia. Syukurlah...
Komentar
Posting Komentar