Sehari menjelang puasa, 15 Mei, saya pulang ke Samarinda. Saya sempatkan bisa puasa pertama bersama Arif di rumah. Selain melengkapi kebutuhan dapur, mama saat itu sedang berada di Malaysia, setelah lebaran baru pulang. Mama berlibur bersama nenek, sekaligus menemani usaha kakaknya di sana.
Berada di Samarinda, saya berharap bertemu lagi dengan Bowo. Setidaknya berbincang empat mata, berharap Bowo masih bisa mengubah keputusannya. Tanpa gengsi, saya hubungi Bowo lebih dulu. Saya menelepon Bowo, telepon diangkat.
"Hallo. Lagi di mana, Kak?"
"Biasa," saya tau di mana biasa yang dimaksud. Wartawan satu ini biasanya menghabiskan waktunya di Media Center Korem.
"Oh... Bisa ketemu kah?"
"Ku sempatkan ya. Nanti ada razia. Masih ada kerjaanku"
"Oh, iya deh"
"Jaga kesehatan ya"
"Iya"
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Terputus. Begitu saja perbincangan kami. Meskipun saya tahu Bowo di tempat biasa, tidak ada niat untuk mendatangi, melabrak, atau membuatnya tersudutkan. Rasanya sudah terlalu tua untuk bertingkah seperti itu. Saya hanya bengong dan menunggu kepastian, benarkah dia akan menyempatkan?
Sudah hampir pukul 10 malam, saya coba kembali menelpon Bowo. Tidak diangkat. Saya WhastApp (WA) dia.
"Gimana? Bisa?"
Lama baru dibalasnya.
"Gak bisa. Ini sudah mau ikut razia".
Beberapa hari di Samarinda, saya masih berupaya untuk bisa bertemu. Waktu saya di Samarinda hanya sampai hari Minggu, setelah itu saya kembali bekerja dari Balikpapan. Masih tak ada tanggapan dari Bowo untuk menemui. Harapan saya saat itu, kalaupun tidak bisa kembali bersama, dia bisa menjelaskan alasannya pergi. Lalu meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Saya selalu WA Bowo meski tak terbalas. Saya chat panjang lebar, berharap dia memahami saya. Masih tak habis pikir, sebab tak ada masalah apapun, tapi tiba-tiba dia mengakhiri.
Akhirnya, saya chat Bowo malam itu. Saya tuangkan pikiran saya dalam kata-kata pada chat itu.
"Jadi begini ya Bowo, aku jadi agak malu ni nguber-nguber jawaban. Alasan yang nyata kenap harus diakhiri. Aku nda pernah marah sebelum-sebelumnya, tp kali ini aku marah!
Kamu tau kan, yang bikin aku berat adalah doyan makan. Kali ini beratku tu nambah, karna beban hati yang belum hilang.
Di saat saling berjauhan, kamu mengakhiri dengan alasan yang nda bisa diterima dengan lapang dada. Nda ada masalah? Trus diakhiri karna nda ada masalah.
Wo, kamu itu pria dewasa, 26 tahun yang seharusnya bisa diajak berunding. Tapi alasanmu kayak anak SMP yang ngomong, "kita putus ya, aku mau fokus ujian". Hei, man! Is that joke?
Aku bisa sangat memahami kalau alasan itu kamu tuturkan baik-baik, jujur apa adanya.
Kalau pun jika, alasannya itu adalah kamu yg sebeneranya masih dihantui rasa bersalah dan belum move on dengan beliau. Kalau semisal, orangtuamu keberatan dengan hubungan kemaren, aku terima juga alasan itu.
Itu jadi satu keyakinan buatku akhirnya, bahwa diantara hubungan kita kemaren ada yang berdoa dengan khusyuk memintamu kembali.
Tapi berasumsi-asumsi aja rasanya nda lega brai. Makanya aku mau ketemu, supaya lega, supaya tidak terbebani. Puasaku dibebani sembilu brai, kagak enak.
Yang memberatkan lagi, karna ngingat gimana prosesnya kemaren-kemaren, ngalami semua insiden itu, trus ragu, diyakinin, akhirnya percaya, dipenuhi angan-angan, jadi sayang, nda ada masalah (ya nda tau kalau masalahnya di kamu), lalu dicampakan padahal aku sudah suntik campak, trus jauh lagi, lewat telpon aja lagi, dan tanpa harapan lagi.
Jangan lari brai, berulang ulang aja rasa bersalahmu nanti. Setidaknya kamu jadi pria dewasa yang bisa mempertanggungjawabkan keputusan.
Atau kamu yg belum siap kehilangan?
Oke, udah gitu aja sih".
Dan tetap saja, tidak ada balasan. Mungkin dia sudah bingung mau menanggapi seperti apa. Saya hanya bisa mendoakan dia menjadi pria yang lebih dewasa dan bijaksana.
Hari di mana saya harus kembali ke Balikpapan pun tiba. Belum ada jawaban dari Bowo yang membuat saya puas, tentang apa dan kenapa, yang menjadi pertimbangannya mengakhiri.
Menerornya melalui chat, menyindirnya melalui media sosial rasanya membuatku kekanak-kanakan. Di atas bus, yang membawaku ke Kota Minyak, saya putuskan untuk, berhenti berharap.
Berada di Samarinda, saya berharap bertemu lagi dengan Bowo. Setidaknya berbincang empat mata, berharap Bowo masih bisa mengubah keputusannya. Tanpa gengsi, saya hubungi Bowo lebih dulu. Saya menelepon Bowo, telepon diangkat.
"Hallo. Lagi di mana, Kak?"
"Biasa," saya tau di mana biasa yang dimaksud. Wartawan satu ini biasanya menghabiskan waktunya di Media Center Korem.
"Oh... Bisa ketemu kah?"
"Ku sempatkan ya. Nanti ada razia. Masih ada kerjaanku"
"Oh, iya deh"
"Jaga kesehatan ya"
"Iya"
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Terputus. Begitu saja perbincangan kami. Meskipun saya tahu Bowo di tempat biasa, tidak ada niat untuk mendatangi, melabrak, atau membuatnya tersudutkan. Rasanya sudah terlalu tua untuk bertingkah seperti itu. Saya hanya bengong dan menunggu kepastian, benarkah dia akan menyempatkan?
Sudah hampir pukul 10 malam, saya coba kembali menelpon Bowo. Tidak diangkat. Saya WhastApp (WA) dia.
"Gimana? Bisa?"
Lama baru dibalasnya.
"Gak bisa. Ini sudah mau ikut razia".
***
Beberapa hari di Samarinda, saya masih berupaya untuk bisa bertemu. Waktu saya di Samarinda hanya sampai hari Minggu, setelah itu saya kembali bekerja dari Balikpapan. Masih tak ada tanggapan dari Bowo untuk menemui. Harapan saya saat itu, kalaupun tidak bisa kembali bersama, dia bisa menjelaskan alasannya pergi. Lalu meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Saya selalu WA Bowo meski tak terbalas. Saya chat panjang lebar, berharap dia memahami saya. Masih tak habis pikir, sebab tak ada masalah apapun, tapi tiba-tiba dia mengakhiri.
Akhirnya, saya chat Bowo malam itu. Saya tuangkan pikiran saya dalam kata-kata pada chat itu.
"Jadi begini ya Bowo, aku jadi agak malu ni nguber-nguber jawaban. Alasan yang nyata kenap harus diakhiri. Aku nda pernah marah sebelum-sebelumnya, tp kali ini aku marah!
Kamu tau kan, yang bikin aku berat adalah doyan makan. Kali ini beratku tu nambah, karna beban hati yang belum hilang.
Di saat saling berjauhan, kamu mengakhiri dengan alasan yang nda bisa diterima dengan lapang dada. Nda ada masalah? Trus diakhiri karna nda ada masalah.
Wo, kamu itu pria dewasa, 26 tahun yang seharusnya bisa diajak berunding. Tapi alasanmu kayak anak SMP yang ngomong, "kita putus ya, aku mau fokus ujian". Hei, man! Is that joke?
Aku bisa sangat memahami kalau alasan itu kamu tuturkan baik-baik, jujur apa adanya.
Kalau pun jika, alasannya itu adalah kamu yg sebeneranya masih dihantui rasa bersalah dan belum move on dengan beliau. Kalau semisal, orangtuamu keberatan dengan hubungan kemaren, aku terima juga alasan itu.
Itu jadi satu keyakinan buatku akhirnya, bahwa diantara hubungan kita kemaren ada yang berdoa dengan khusyuk memintamu kembali.
Tapi berasumsi-asumsi aja rasanya nda lega brai. Makanya aku mau ketemu, supaya lega, supaya tidak terbebani. Puasaku dibebani sembilu brai, kagak enak.
Yang memberatkan lagi, karna ngingat gimana prosesnya kemaren-kemaren, ngalami semua insiden itu, trus ragu, diyakinin, akhirnya percaya, dipenuhi angan-angan, jadi sayang, nda ada masalah (ya nda tau kalau masalahnya di kamu), lalu dicampakan padahal aku sudah suntik campak, trus jauh lagi, lewat telpon aja lagi, dan tanpa harapan lagi.
Jangan lari brai, berulang ulang aja rasa bersalahmu nanti. Setidaknya kamu jadi pria dewasa yang bisa mempertanggungjawabkan keputusan.
Atau kamu yg belum siap kehilangan?
Oke, udah gitu aja sih".
Dan tetap saja, tidak ada balasan. Mungkin dia sudah bingung mau menanggapi seperti apa. Saya hanya bisa mendoakan dia menjadi pria yang lebih dewasa dan bijaksana.
***
Hari di mana saya harus kembali ke Balikpapan pun tiba. Belum ada jawaban dari Bowo yang membuat saya puas, tentang apa dan kenapa, yang menjadi pertimbangannya mengakhiri.
Menerornya melalui chat, menyindirnya melalui media sosial rasanya membuatku kekanak-kanakan. Di atas bus, yang membawaku ke Kota Minyak, saya putuskan untuk, berhenti berharap.
Komentar
Posting Komentar