Pernah mengalami perasaan marah, tapi dipendam? Kemudian perasaan marah itu menjadi energi yang mengalir ke tiap bagian tubuhmu, sesaat kemudian menjadi kuat dan bisa menghempaskan, mematahkan, menghancurkan apa saja yang ada di depanmu. Tanpa latihan fisik, tiba-tiba menjadi bak Hulk yang sedang membasmi penjahat di muka bumi.
Saya pernah mengalami peristiwa kecil dengan pacar saya saat masih SMA. Waktu itu tahun 2010. Si pacar ini adalah pacar pertama saya, sekarang sudah tidak bersama lagi. Sudah hidup masing-masing dan mungkin nanti juga akan saya ceritakan bagaimana kami putus. Saya yang memutuskannya dulu. Mungkin saja dia juga membacanya, saya mau berpesan dulu. Kak, cerita tentang kita jangan di embargo, jangan terbawa perasaan juga. Saya hanya bercerita. Semua yang ada di sini, saya samarkan. Fyi saja sih, meskipun sudah putus, saya dan kakak ini tidak pernah saling unfollow.
Pacar saya saat itu kakak kelas yang keren banget. Dia ketua ekskul website, anak kelas unggulan, dan sangat pintar. Kami berbeda 2 angkatan, saat saya kelas 1, dia kelas 3. Kita sebut saja pacar saya ini, Kak Riko.
Kak Riko itu smart banget, saya beruntung bisa pacaran sama dia. Karena dia jurusan IPA, dia sering kali mengajarkan saya dan membantu saya mengerjakan PR. Waktu masih duduk di kelas 1 SMA, saya sangat sulit memahami pelajaran matematika. Memiliki dia, membuat saya sedikit terbantu. Tugas matematika saya, sering dia yang mengerjakan. Bahkan pernah, tugas matematika saya yang dikerjakannya tidak menggunakan rumus yang umum. Kak Riko menggunakan semacam logika matematika, sayangnya logika saya tidak sebanding dengan dia. Jadi jawabannya benar, tapi rumusnya tidak umum. Saat di kelas saya sampai takut, jika soal itu saya yang diminta untuk mengerjakannya di papan tulis oleh guru.
Saking pintarnya Kak Riko, dia tidak perlu capek-capek belajar untuk ikut tes seleksi masuk perguruan tinggi. Kak Riko sudah diterima melalui jalur undangan di Universitas Mulawarman Samarinda. Dulu namanya jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Nah, gara-gara Kak Riko lolos kuliah di Samarinda inilah ada drama-drama hubungan jarak jauh. Bahasa kekiniannya LDR atau Long Distance Relationship. Tapi sekarang saya tidak akan menceritakan bagaimana perjalanan LDR tersebut. Saya akan menceritakan bagaimana ketika marah, manusia bisa jadi lebih kuat.
Siang itu Kak Riko jemput saya di sekolah. Saya ujian kenaikan kelas hari pertama. Sementara Kak Riko sudah lebih santai, karena dia sudah lulus sekolah. Sebelum pulang, saya ingin membeli minuman yang segar-segar terlebih dulu. Soalnya setelah itu saya minta ditemani belajar lagi di rumah.
Dibelilah Es Oyen. Dulu es ini begitu melegenda di Tarakan. Saya pasti membeli es oyen di Karang Anyar depan SD 009. Setelah membeli es oyen, Kak Riko mengajak saya mengambil brosur Hotel Makmur.
"Buat apa ngambil brosur Hotel Makmur?" tanyaku heran.
"Gak papa, mau ngambil aja," katanya.
Sampailah kami di depan Hotel Makmur. Kak Riko masuk. Saya menunggu di luar, di samping motor bututnya saat itu, motor Honda Supra Fit generasi pertama kalau tidak salah. Saya berdiri membawa papan ujian berwarna biru. Sesaat kemudian Kak Riko keluar dan membawa brosur hotel tersebut.
"Buat apa sih? Ada keluarga yang mau datang?" tanyaku lagi.
"Bukan. Buatku, biar nanti kalau liburan bisa pesan kamar di sini," jawabnya.
"Maksudnya?" saya masih heran.
"Jadi besok aku sudah berangkat ke Samarinda," jawabnya yang tentu saja membuat saya shock.
Kak Riko sudah pernah bilang, kalau nanti dia berangkat ke Samarinda untuk kuliah, dia sekalian pindah. Dan tidak lagi menetap di Tarakan. Saya hanya bisa menahan air mata, malu kalau mau nangis di tempat umum.
Saya pun bertanya dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Papan ujian yang saya pegang saya letakkan di atas jok motor. Sambil bertanya, "kenapa baru bilang?" papan ujian itu tiba-tiba patah. Padahal saya memegang dan meletakkannya tanpa kekerasan. Benar-benar biasa saja.
Melihat papan ujian yang patah, Kak Riko langsung menatapku. Begitu juga saya, langsung melirik dia, lalu bertanya, "kok bisa patah?". Kami sama-sama tertawa kecil, tapi saya tetap melanjutkan pertanyaan sebelumnya.
"Kenapa baru bilang?"
"Belum sempat. Belum ada momen yang pas, kemaren masih sibuk simpun-simpun," katanya.
"Besok jam berapa berangkatnya?"
"Pagi jam 8"
"Aku gak bisa ngantar dong," jawabku dengan sedih. Apalagi saat itu saya masih ujian kenaikan kelas.
Jadi hikmah dari cerita ini adalah jika kalian ingin memberikan informasi yang membuat shock dan marah, pastikan di sekitar kalian tidak ada benda-benda tajam atau bara api kalau tidak ingin melihat si pendengar atraksi debus tiba-tiba. Untungnya saat itu saya hanya memegang papan ujian. Kalau yang saya pegang pisau dan patah? Mari kita bayangkan bersama.
Saya pernah mengalami peristiwa kecil dengan pacar saya saat masih SMA. Waktu itu tahun 2010. Si pacar ini adalah pacar pertama saya, sekarang sudah tidak bersama lagi. Sudah hidup masing-masing dan mungkin nanti juga akan saya ceritakan bagaimana kami putus. Saya yang memutuskannya dulu. Mungkin saja dia juga membacanya, saya mau berpesan dulu. Kak, cerita tentang kita jangan di embargo, jangan terbawa perasaan juga. Saya hanya bercerita. Semua yang ada di sini, saya samarkan. Fyi saja sih, meskipun sudah putus, saya dan kakak ini tidak pernah saling unfollow.
***
Pacar saya saat itu kakak kelas yang keren banget. Dia ketua ekskul website, anak kelas unggulan, dan sangat pintar. Kami berbeda 2 angkatan, saat saya kelas 1, dia kelas 3. Kita sebut saja pacar saya ini, Kak Riko.
Kak Riko itu smart banget, saya beruntung bisa pacaran sama dia. Karena dia jurusan IPA, dia sering kali mengajarkan saya dan membantu saya mengerjakan PR. Waktu masih duduk di kelas 1 SMA, saya sangat sulit memahami pelajaran matematika. Memiliki dia, membuat saya sedikit terbantu. Tugas matematika saya, sering dia yang mengerjakan. Bahkan pernah, tugas matematika saya yang dikerjakannya tidak menggunakan rumus yang umum. Kak Riko menggunakan semacam logika matematika, sayangnya logika saya tidak sebanding dengan dia. Jadi jawabannya benar, tapi rumusnya tidak umum. Saat di kelas saya sampai takut, jika soal itu saya yang diminta untuk mengerjakannya di papan tulis oleh guru.
Saking pintarnya Kak Riko, dia tidak perlu capek-capek belajar untuk ikut tes seleksi masuk perguruan tinggi. Kak Riko sudah diterima melalui jalur undangan di Universitas Mulawarman Samarinda. Dulu namanya jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Nah, gara-gara Kak Riko lolos kuliah di Samarinda inilah ada drama-drama hubungan jarak jauh. Bahasa kekiniannya LDR atau Long Distance Relationship. Tapi sekarang saya tidak akan menceritakan bagaimana perjalanan LDR tersebut. Saya akan menceritakan bagaimana ketika marah, manusia bisa jadi lebih kuat.
***
Siang itu Kak Riko jemput saya di sekolah. Saya ujian kenaikan kelas hari pertama. Sementara Kak Riko sudah lebih santai, karena dia sudah lulus sekolah. Sebelum pulang, saya ingin membeli minuman yang segar-segar terlebih dulu. Soalnya setelah itu saya minta ditemani belajar lagi di rumah.
Dibelilah Es Oyen. Dulu es ini begitu melegenda di Tarakan. Saya pasti membeli es oyen di Karang Anyar depan SD 009. Setelah membeli es oyen, Kak Riko mengajak saya mengambil brosur Hotel Makmur.
"Buat apa ngambil brosur Hotel Makmur?" tanyaku heran.
"Gak papa, mau ngambil aja," katanya.
Sampailah kami di depan Hotel Makmur. Kak Riko masuk. Saya menunggu di luar, di samping motor bututnya saat itu, motor Honda Supra Fit generasi pertama kalau tidak salah. Saya berdiri membawa papan ujian berwarna biru. Sesaat kemudian Kak Riko keluar dan membawa brosur hotel tersebut.
"Buat apa sih? Ada keluarga yang mau datang?" tanyaku lagi.
"Bukan. Buatku, biar nanti kalau liburan bisa pesan kamar di sini," jawabnya.
"Maksudnya?" saya masih heran.
"Jadi besok aku sudah berangkat ke Samarinda," jawabnya yang tentu saja membuat saya shock.
Kak Riko sudah pernah bilang, kalau nanti dia berangkat ke Samarinda untuk kuliah, dia sekalian pindah. Dan tidak lagi menetap di Tarakan. Saya hanya bisa menahan air mata, malu kalau mau nangis di tempat umum.
Saya pun bertanya dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Papan ujian yang saya pegang saya letakkan di atas jok motor. Sambil bertanya, "kenapa baru bilang?" papan ujian itu tiba-tiba patah. Padahal saya memegang dan meletakkannya tanpa kekerasan. Benar-benar biasa saja.
Melihat papan ujian yang patah, Kak Riko langsung menatapku. Begitu juga saya, langsung melirik dia, lalu bertanya, "kok bisa patah?". Kami sama-sama tertawa kecil, tapi saya tetap melanjutkan pertanyaan sebelumnya.
"Kenapa baru bilang?"
"Belum sempat. Belum ada momen yang pas, kemaren masih sibuk simpun-simpun," katanya.
"Besok jam berapa berangkatnya?"
"Pagi jam 8"
"Aku gak bisa ngantar dong," jawabku dengan sedih. Apalagi saat itu saya masih ujian kenaikan kelas.
Jadi hikmah dari cerita ini adalah jika kalian ingin memberikan informasi yang membuat shock dan marah, pastikan di sekitar kalian tidak ada benda-benda tajam atau bara api kalau tidak ingin melihat si pendengar atraksi debus tiba-tiba. Untungnya saat itu saya hanya memegang papan ujian. Kalau yang saya pegang pisau dan patah? Mari kita bayangkan bersama.
Komentar
Posting Komentar