Di sekolah, kalian pastinya punya kakak kelas, adik kelas, teman atau bahkan guru dengan nama yang sama antara satu dengan yang lain. Misalkan saja nama-nama mainstream seperti Dwi, Nurul, Putri, Fitri, Yuli dan lain-lain.
Saya salah satu dari murid yang punya kesamaan nama di sekolah. Saat itu, saya sudah SMA. Biasanya nama sama, belum tentu nasib kita sama. Tapi kali ini, saya dan orang ini sama-sama apes.
Saat itu saya kelas 2 SMA, sementara dia kakak kelasku. Dia sudah kelas 3. Tidak hanya dari segi nama, kami punya kesamaan lain di berbagai sisi. Kami sama-sama perempuan, sama-sama jurusan IPS, dan sama-sama mengikuti perlombaan Ekonomi.
Dari sinilah kisah itu bermula. Punya nama sama ketika kami melakukan pertemuan dengan guru, dibuatlah perbedaan itu. Saya dikenal dengan Alfi Ramadhany, dan dia sebut saja "Cantik".
Cantik sudah lebih dulu mengikuti perlombaan Ekonomi itu, sehingga beberapa kali saya diminta untuk belajar dari dia. Karena saya juga jurnalis sekolah, ketika dia lolos ke tingkat nasional bersama timnya, saya pun membuat berita dan mewawancarainya. Sejak saat itu saya dan cantik akrab, terlebih lagi dia juga berpacaran dengan teman sekelas saya.
Setahun berlalu, saya kelas 3 SMA. Cantik sudah lulus sekolah dan masuk universitas negeri di Samarinda tanpa tes. Dia memang pintar, prestasinya pun banyak. Jadi wajar saja jalur undangan yang didapatkannya bisa meloloskannya.
Sejak Cantik kuliah, saya tidak banyak berkomunikasi dengan dia. Paling-paling hanya tahu kabarnya dari media sosial atau dari pacarnya yang masih menjadi teman sekelas saya.
Setahun kemudian, nasib saya lagi-lagi sama seperti Cantik. Saya lolos di universitas negeri di Samarinda tanpa tes. Tapi fakultas kami berbeda. Cantik memilih bidang Ekonomi, sementara saya ingin menggali lebih dalam tentang ilmu komunikasi.
Lolos di Samarinda membawa saya dan Cantik kembali intens berkomunikasi. Saya sempat meminta tolong dicarikan kost-kostan dengan Cantik. Meskipun bukan kost-kostan rekomendasinya yang akhirnya saya tempati.
5 Juni 2012, saya datang dari Tarakan ke Samarinda bersama beberapa teman. Ketika saya sudah lolos tanpa tes dan harus melakukan verifikasi data saat itu, teman-teman saya berjuang untuk seleksi masuk perguruan tinggi.
Tidak ada yang merasa akan punya nasib buruk ketika kami bersama-sama memulai perantauan. Hingga suatu saat, Cantik menghubungiku untuk meminta bantuan. Saat itu saya sedang santai-santai saja di kost bersama Jayanti, Syabira dan Daniyati.
"Alfi, bisa minta tolong?" tanyanya lewat sms.
"Minta tolong apa, Kak?"
"Aku mau balik ke Tarakan, ada acara. Ternyata pas juga ada ujian mendadak. Kamu bisa gantiin kah?"
"Memangnya gak papa digantiin gitu? Kalau ketahuan?" tanyaku yang saat itu masih polos ala calon mahasiswa baru.
"Gak papa. Nanti kamu dibantuin sama teman-temanku. Mahasiswanya satu kelas itu banyak,.jadi gak mungkin juga dosennya ngenalin muka kita," katanya.
Dengan rencana yang matang, dan perasaan penasaran menjadi mahasiswi. Saya menerima permintaan tersebut. Saya gantikan Cantik diujiannya hari itu, dan orang lain menyebutnya "joki ujian".
Pagi-pagi saya dijemput teman-temannya. Saya diberi kertas kartu ujian, dan tempat duduk jauh di belakang agar tidak banyak yang menyadari kehadiran saya. Teman-teman Cantik pun duduk di sekitar saya, kalau-kalau saya merasa kesulitan menjawab saya bisa menyontek.
Tapi hari itu, ujiannya Bahasa Indonesia. Soalnya cukup mudah. Saya menulis dan menjawab sebisa saya dengan percaya diri. Sebelum akhirnya, giliran saya menandatangi absensi. Daftar absen itu ada di atas meja saya, saya mencari nama Cantik di kertas itu bolak-balik, tapi saya tidak melihatnya sama sekali. Hingga akhirnya pengawas ujian mendatangi meja saya dan curiga.
"Kenapa? Masa gak hapal NIMnya? Mana kartu ujiannya?"
Ampun deh deg-degan! Di kartu itu, foto Cantik tertempel dengan jelas, dan saya bukan dia.
"Ini nih, tanda tangan. Jangan-jangan lain kamu lagi ni!"
Pengawas itu bikin saya tersentak. Dia pun menyadari.
"Iya, lain kamu kan ini? Ikut saya ke ruang dekan!" perintahnya.
Saya hanya bisa terdiam dengan peristiwa yang baru saja saya alami. Tidak terlintas sedikitpun jika hari itu menjadi kejutan yang tak diinginkan.
"Kamu semester berapa? Kok bisa jadi joki?"
Tanya seorang wanita paruh baya di hadapan saya. Ternyata wanita ini seorang dekan. Saya mulai diinterogasi saat itu.
"Baru mau kuliah, Bu"
"Loh? Kok bisa?"
Saya pun menceritakan kronologis mengapa saya bisa sampai berada di sini. Sementara Cantik, yang saat itu berada di Tarakan, merasa bersalah. Saya bahkan menceritakan bahwa saya juga calon mahasiswa baru di fakultas sebelah yang diterima melalui jalur undangan.
Sepertinya saya terlalu detail menceritakan latar belakang saya dan Cantik. Hingga akhirnya, kami pun harus menerima hukuman. Cantik di skorsing selama 1 semester, dan saya harus berlapang dada dengan dibatalkannya jalur undangan saya meskipun telah melakukan verifikasi.
Akhirnya saya harus mengikuti ujian mandiri untuk kembali masuk universitas di jurusan yang saya inginkan. Jangan salahkan Cantik, dia sangat bertanggung jawab. Biaya kuliah saya di semester pertama saat itu ditanggungnya. Kami bertemu lagi, Cantik meminta maaf atas ide tak wajar itu. Yang dia sendiripun heran, mengapa ide itu terlintas. Mungkin, karena nama kami sama, sehingga dia merasa memiliki pengganti. Seperti anak kembar.
Hehehe... Nama sama, sama-sama juga apesnya. Lama saya tak mendengar kabar Cantik. Semoga dia selalu sehat dan bahagia. Sukses selalu, kak Cantik!
Saya salah satu dari murid yang punya kesamaan nama di sekolah. Saat itu, saya sudah SMA. Biasanya nama sama, belum tentu nasib kita sama. Tapi kali ini, saya dan orang ini sama-sama apes.
Saat itu saya kelas 2 SMA, sementara dia kakak kelasku. Dia sudah kelas 3. Tidak hanya dari segi nama, kami punya kesamaan lain di berbagai sisi. Kami sama-sama perempuan, sama-sama jurusan IPS, dan sama-sama mengikuti perlombaan Ekonomi.
Dari sinilah kisah itu bermula. Punya nama sama ketika kami melakukan pertemuan dengan guru, dibuatlah perbedaan itu. Saya dikenal dengan Alfi Ramadhany, dan dia sebut saja "Cantik".
Cantik sudah lebih dulu mengikuti perlombaan Ekonomi itu, sehingga beberapa kali saya diminta untuk belajar dari dia. Karena saya juga jurnalis sekolah, ketika dia lolos ke tingkat nasional bersama timnya, saya pun membuat berita dan mewawancarainya. Sejak saat itu saya dan cantik akrab, terlebih lagi dia juga berpacaran dengan teman sekelas saya.
Setahun berlalu, saya kelas 3 SMA. Cantik sudah lulus sekolah dan masuk universitas negeri di Samarinda tanpa tes. Dia memang pintar, prestasinya pun banyak. Jadi wajar saja jalur undangan yang didapatkannya bisa meloloskannya.
Sejak Cantik kuliah, saya tidak banyak berkomunikasi dengan dia. Paling-paling hanya tahu kabarnya dari media sosial atau dari pacarnya yang masih menjadi teman sekelas saya.
***
Setahun kemudian, nasib saya lagi-lagi sama seperti Cantik. Saya lolos di universitas negeri di Samarinda tanpa tes. Tapi fakultas kami berbeda. Cantik memilih bidang Ekonomi, sementara saya ingin menggali lebih dalam tentang ilmu komunikasi.
Lolos di Samarinda membawa saya dan Cantik kembali intens berkomunikasi. Saya sempat meminta tolong dicarikan kost-kostan dengan Cantik. Meskipun bukan kost-kostan rekomendasinya yang akhirnya saya tempati.
5 Juni 2012, saya datang dari Tarakan ke Samarinda bersama beberapa teman. Ketika saya sudah lolos tanpa tes dan harus melakukan verifikasi data saat itu, teman-teman saya berjuang untuk seleksi masuk perguruan tinggi.
Tidak ada yang merasa akan punya nasib buruk ketika kami bersama-sama memulai perantauan. Hingga suatu saat, Cantik menghubungiku untuk meminta bantuan. Saat itu saya sedang santai-santai saja di kost bersama Jayanti, Syabira dan Daniyati.
"Alfi, bisa minta tolong?" tanyanya lewat sms.
"Minta tolong apa, Kak?"
"Aku mau balik ke Tarakan, ada acara. Ternyata pas juga ada ujian mendadak. Kamu bisa gantiin kah?"
"Memangnya gak papa digantiin gitu? Kalau ketahuan?" tanyaku yang saat itu masih polos ala calon mahasiswa baru.
"Gak papa. Nanti kamu dibantuin sama teman-temanku. Mahasiswanya satu kelas itu banyak,.jadi gak mungkin juga dosennya ngenalin muka kita," katanya.
Dengan rencana yang matang, dan perasaan penasaran menjadi mahasiswi. Saya menerima permintaan tersebut. Saya gantikan Cantik diujiannya hari itu, dan orang lain menyebutnya "joki ujian".
Pagi-pagi saya dijemput teman-temannya. Saya diberi kertas kartu ujian, dan tempat duduk jauh di belakang agar tidak banyak yang menyadari kehadiran saya. Teman-teman Cantik pun duduk di sekitar saya, kalau-kalau saya merasa kesulitan menjawab saya bisa menyontek.
Tapi hari itu, ujiannya Bahasa Indonesia. Soalnya cukup mudah. Saya menulis dan menjawab sebisa saya dengan percaya diri. Sebelum akhirnya, giliran saya menandatangi absensi. Daftar absen itu ada di atas meja saya, saya mencari nama Cantik di kertas itu bolak-balik, tapi saya tidak melihatnya sama sekali. Hingga akhirnya pengawas ujian mendatangi meja saya dan curiga.
"Kenapa? Masa gak hapal NIMnya? Mana kartu ujiannya?"
Ampun deh deg-degan! Di kartu itu, foto Cantik tertempel dengan jelas, dan saya bukan dia.
"Ini nih, tanda tangan. Jangan-jangan lain kamu lagi ni!"
Pengawas itu bikin saya tersentak. Dia pun menyadari.
"Iya, lain kamu kan ini? Ikut saya ke ruang dekan!" perintahnya.
Saya hanya bisa terdiam dengan peristiwa yang baru saja saya alami. Tidak terlintas sedikitpun jika hari itu menjadi kejutan yang tak diinginkan.
"Kamu semester berapa? Kok bisa jadi joki?"
Tanya seorang wanita paruh baya di hadapan saya. Ternyata wanita ini seorang dekan. Saya mulai diinterogasi saat itu.
"Baru mau kuliah, Bu"
"Loh? Kok bisa?"
Saya pun menceritakan kronologis mengapa saya bisa sampai berada di sini. Sementara Cantik, yang saat itu berada di Tarakan, merasa bersalah. Saya bahkan menceritakan bahwa saya juga calon mahasiswa baru di fakultas sebelah yang diterima melalui jalur undangan.
Sepertinya saya terlalu detail menceritakan latar belakang saya dan Cantik. Hingga akhirnya, kami pun harus menerima hukuman. Cantik di skorsing selama 1 semester, dan saya harus berlapang dada dengan dibatalkannya jalur undangan saya meskipun telah melakukan verifikasi.
Akhirnya saya harus mengikuti ujian mandiri untuk kembali masuk universitas di jurusan yang saya inginkan. Jangan salahkan Cantik, dia sangat bertanggung jawab. Biaya kuliah saya di semester pertama saat itu ditanggungnya. Kami bertemu lagi, Cantik meminta maaf atas ide tak wajar itu. Yang dia sendiripun heran, mengapa ide itu terlintas. Mungkin, karena nama kami sama, sehingga dia merasa memiliki pengganti. Seperti anak kembar.
Hehehe... Nama sama, sama-sama juga apesnya. Lama saya tak mendengar kabar Cantik. Semoga dia selalu sehat dan bahagia. Sukses selalu, kak Cantik!
Komentar
Posting Komentar