Seseorang yang bisa meramal biasanya disebut paranormal, tapi ada pula yang menyebutnya ahli nujum. Dalam KBBI, nujum diartikan sebagai perbintangan untuk meramalkan (mengetahui) nasib seseorang. Ahli nujum berarti orang yang mahir meramalkan nasib.
Tapi kenapa tiba-tiba membicarakan ahli nujum? Cerita ini berawal dari saya yang suka tiba-tiba menyeletukkan pernyataan, kemudian menjadi kenyataan. Atau ketika seseorang lain bercerita, saya sudah tahu orang ini mau membicarakan apa. Saya pun mendapatkan julukan itu di masa perkuliahan. Sebenarnya saya tidak ambil pusing dengan hal seperti ini. Saya rasa hal itu bisa terjadi jika kita bisa memainkan logika dan akal sehat, atau melihat kebiasaan yang terjadi pada diri seseorang.
Menjadi "ahli nujum" bermula pada satu perkuliahan. Saat itu di kelas belum ada dosen. Saya duduk di antara teman-teman saya. Saat itu ada Ratna dan Maulida di belakang saya. Ruang kelas yang saat itu terang benderang, sejuk dengan AC yang menyala, tiba-tiba redup. Listrik padam ternyata. Maulida mengeluh.
"Ih, kok mati lampu sih?"
"Iya, nih. Panas jadinya," sahut Ratna.
"Sebentar aja ni. Sebentar lagi nyala," sahutku.
Sepersekian detik, lampu tiba-tiba kembali menyala. Ratna dan Maulida terdiam, saya juga.
"Wuih, hebat! Alfi bisa ngeramal," kata Ratna.
Saya hanya terdiam, dan mengatakan dalam hati, "kebetulan".
Sulit dijelaskan kenapa bisa seakurat itu. Padahal di kampus tidak ada genset, kecuali untuk dekanat. Listrik juga kalau padam biasanya bisa berjam-jam, bahkan perkuliahan bisa akhiri lebih awal ketika kelas terasa begitu panas. Tapi saat itu, saya hanya merasa ingin mengatakan bahwa listriknya tidak akan padam dalam waktu yang lama.
Kejadian paling tragis pernah terjadi saat saya berpacaran dengan Michel. Michel seorang perokok. Biasanya dia merokok sambil ngobrol, main game, bahkan sambil boker.
Saat itu Michel sedang bersama saya, dia merokok sambil bermain game. Dia bermain game sepak bola, dengan stick digenggamannya, dan rokok di asbak. Sesekali dia menghisap rokok saat ada kesempatan tangannya tak memainkan tombol stick PS. Saya yang melihatnya begitu, tiba-tiba nyeletuk.
"Gak lama kamu isap rokok tu tebalik," kataku.
Dia diam saja sambil memainkan gamenya.
Keesokan harinya saat saya bertemu lagi dengan Michel, saya melihat ada luka di atas bibirnya.
"Bibirmu kenapa?" tanyaku.
"Kena rokok," jawabnya singkat.
"Hah? Kok bisa?"
"Kamu sih ngomong aneh-aneh," kata dia menyalahkanku.
"Ih, lagian kamu ngerokonya gak liat-liat. Sambil ngeliat tv pas main PS, terus sambil rokok-an," jawabku membela diri.
Jadi saat itu saya hanya melihat kebiasaannya mengambil rokok di atas asbak tanpa melihat-lihat. Matanya masih fokus melihat game yang dimainkannya. Tanpa sadar saat dia mengambil rokok, rokok itu terbalik atau tidak.
Di masa-masa akhir perkuliahan. Kemampuan nujum ini bisa menjadi hal yang ditakuti teman-teman saya. Apalagi ketika yang saya ucapkan adalah hal-hal negatif. Mereka akan sesegera mungkin meminta saya diam, karena takut akan benar-benar terjadi.
Anehnya, saat sudah mulai mengurus skripsi yang dimulai dengan pembuatan judul dan penentuan dosen pembimbing, teman-teman saya meminta diramalkan. Lebih tepatnya minta ditebakan.
Semua berawal dari penetapan dosen pembimbing skripsi saya. Firasat saya, dosen yang akan ditunjuk menjadi pembimbing saya adalah ibu Inda. Dan saya sudah mengatakan hal itu pads teman-teman saya.
"Kayanya dospemku bu Inda deh," kataku.
Dan benar saja, saat saya bertemu dengan sekretaris program studi. Bapak tersebut menuliskan nama ibu Inda di kertas pengajuan saya.
"Sesuai prediksi," kataku ke bapak itu. Si bapak tertawa.
Satu persatu teman dekatku seperti Putri, Eni, Fahri meminta ditebakan siapa dosen pembimbingnya. Dan, 90% tepat sasaran. Kebiasaan menebak-nebak ini pun masih terus berlanjut sampai pengajuan dosen penguji untuk seminar proposal.
Kejadian yang paling sederhana pernah terjadi saat saya berada di Kediri, saya baru saja selesai kursus di Pare. Saat itu Andini yang berkuliah di Malang meneleponku.
Setahu saya dia akan sidang skripsi, tapi ternyata batal. Alasannya dia sedang berada di Kediri, dan dosen pembimbingnya mencarinya.
"Dosenku nyariin aku. Aku ni kabur tau dari kampus. Belum siap aku sidang," katanya.
"Terus? Kau bilang kau lagi di Kediri gitu?" jawabku.
"Kok kau taauuu? Iya, terus dosenku malah minta nitip --"
Belum sempat Andini menyelesaikan omongannya, saya melanjutkan.
"Dosenmu nitip tahu kuning dari Kediri?"
"Kok kau tau siiihhh?" katanya lagi sambil berteriak.
"Hahahahahaa...." saya hanya tertawa.
"Jadi gimana nih? Bisakah dikirimkan itu dari Kediri?"
"Gimana caranya? Gak ngerti aku ngirim makanan gitu. Gak basi di perjalanan? Gak ada kendaraan juga mau belikan"
"Gimana ya? Duh, kenapa juga aku nyebut ke Kediri?"
"Kau janji mau datangin aku sih. Ya udah, cariin aja di Malang. Gak mungkin gak ada yang jual. Masih oleh-oleh Jawa Timur kok," kataku.
"Iya deh, nanti aku cari di sini aja," katanya.
Begitulah perbincangan paling sederhana ketika menebak arah pembicaraan seseorang. Pada saat itu, Andini berjanji akan datang ke Kediri, tapi karena dia akan sidang skripsi dia batalkan. Saya juga tidak menyangka dia membatalkan sidang skripsi itu karena belum siap. Dia pun kabur dari dosennya, dan dia mengatakan dia di Kediri, padahal dia di Malang. Ketika seseorang menitip sesuatu dari Kediri, sudah pasti menitip tahu kuning atau tahu takwa karena itu makanan khas di sana untuk dijadikan oleh-oleh.
Agak seram sebenarnya ketika teman-teman mulai menyebut saya "ahli nujum". Saya tidak merasa memiliki indera keenam atau apapun. Lagi-lagi saya menyadari, memprediksikan sesuatu menggunakan logika secara rasional, atau kita bisa menyebutnya intuisi. Secara tidak sadar, tapi ingin saja melakukan atau mengakatannya.
Tapi kenapa tiba-tiba membicarakan ahli nujum? Cerita ini berawal dari saya yang suka tiba-tiba menyeletukkan pernyataan, kemudian menjadi kenyataan. Atau ketika seseorang lain bercerita, saya sudah tahu orang ini mau membicarakan apa. Saya pun mendapatkan julukan itu di masa perkuliahan. Sebenarnya saya tidak ambil pusing dengan hal seperti ini. Saya rasa hal itu bisa terjadi jika kita bisa memainkan logika dan akal sehat, atau melihat kebiasaan yang terjadi pada diri seseorang.
Menjadi "ahli nujum" bermula pada satu perkuliahan. Saat itu di kelas belum ada dosen. Saya duduk di antara teman-teman saya. Saat itu ada Ratna dan Maulida di belakang saya. Ruang kelas yang saat itu terang benderang, sejuk dengan AC yang menyala, tiba-tiba redup. Listrik padam ternyata. Maulida mengeluh.
"Ih, kok mati lampu sih?"
"Iya, nih. Panas jadinya," sahut Ratna.
"Sebentar aja ni. Sebentar lagi nyala," sahutku.
Sepersekian detik, lampu tiba-tiba kembali menyala. Ratna dan Maulida terdiam, saya juga.
"Wuih, hebat! Alfi bisa ngeramal," kata Ratna.
Saya hanya terdiam, dan mengatakan dalam hati, "kebetulan".
Sulit dijelaskan kenapa bisa seakurat itu. Padahal di kampus tidak ada genset, kecuali untuk dekanat. Listrik juga kalau padam biasanya bisa berjam-jam, bahkan perkuliahan bisa akhiri lebih awal ketika kelas terasa begitu panas. Tapi saat itu, saya hanya merasa ingin mengatakan bahwa listriknya tidak akan padam dalam waktu yang lama.
***
Kejadian paling tragis pernah terjadi saat saya berpacaran dengan Michel. Michel seorang perokok. Biasanya dia merokok sambil ngobrol, main game, bahkan sambil boker.
Saat itu Michel sedang bersama saya, dia merokok sambil bermain game. Dia bermain game sepak bola, dengan stick digenggamannya, dan rokok di asbak. Sesekali dia menghisap rokok saat ada kesempatan tangannya tak memainkan tombol stick PS. Saya yang melihatnya begitu, tiba-tiba nyeletuk.
"Gak lama kamu isap rokok tu tebalik," kataku.
Dia diam saja sambil memainkan gamenya.
Keesokan harinya saat saya bertemu lagi dengan Michel, saya melihat ada luka di atas bibirnya.
"Bibirmu kenapa?" tanyaku.
"Kena rokok," jawabnya singkat.
"Hah? Kok bisa?"
"Kamu sih ngomong aneh-aneh," kata dia menyalahkanku.
"Ih, lagian kamu ngerokonya gak liat-liat. Sambil ngeliat tv pas main PS, terus sambil rokok-an," jawabku membela diri.
Jadi saat itu saya hanya melihat kebiasaannya mengambil rokok di atas asbak tanpa melihat-lihat. Matanya masih fokus melihat game yang dimainkannya. Tanpa sadar saat dia mengambil rokok, rokok itu terbalik atau tidak.
***
Di masa-masa akhir perkuliahan. Kemampuan nujum ini bisa menjadi hal yang ditakuti teman-teman saya. Apalagi ketika yang saya ucapkan adalah hal-hal negatif. Mereka akan sesegera mungkin meminta saya diam, karena takut akan benar-benar terjadi.
Anehnya, saat sudah mulai mengurus skripsi yang dimulai dengan pembuatan judul dan penentuan dosen pembimbing, teman-teman saya meminta diramalkan. Lebih tepatnya minta ditebakan.
Semua berawal dari penetapan dosen pembimbing skripsi saya. Firasat saya, dosen yang akan ditunjuk menjadi pembimbing saya adalah ibu Inda. Dan saya sudah mengatakan hal itu pads teman-teman saya.
"Kayanya dospemku bu Inda deh," kataku.
Dan benar saja, saat saya bertemu dengan sekretaris program studi. Bapak tersebut menuliskan nama ibu Inda di kertas pengajuan saya.
"Sesuai prediksi," kataku ke bapak itu. Si bapak tertawa.
Satu persatu teman dekatku seperti Putri, Eni, Fahri meminta ditebakan siapa dosen pembimbingnya. Dan, 90% tepat sasaran. Kebiasaan menebak-nebak ini pun masih terus berlanjut sampai pengajuan dosen penguji untuk seminar proposal.
***
Kejadian yang paling sederhana pernah terjadi saat saya berada di Kediri, saya baru saja selesai kursus di Pare. Saat itu Andini yang berkuliah di Malang meneleponku.
Setahu saya dia akan sidang skripsi, tapi ternyata batal. Alasannya dia sedang berada di Kediri, dan dosen pembimbingnya mencarinya.
"Dosenku nyariin aku. Aku ni kabur tau dari kampus. Belum siap aku sidang," katanya.
"Terus? Kau bilang kau lagi di Kediri gitu?" jawabku.
"Kok kau taauuu? Iya, terus dosenku malah minta nitip --"
Belum sempat Andini menyelesaikan omongannya, saya melanjutkan.
"Dosenmu nitip tahu kuning dari Kediri?"
"Kok kau tau siiihhh?" katanya lagi sambil berteriak.
"Hahahahahaa...." saya hanya tertawa.
"Jadi gimana nih? Bisakah dikirimkan itu dari Kediri?"
"Gimana caranya? Gak ngerti aku ngirim makanan gitu. Gak basi di perjalanan? Gak ada kendaraan juga mau belikan"
"Gimana ya? Duh, kenapa juga aku nyebut ke Kediri?"
"Kau janji mau datangin aku sih. Ya udah, cariin aja di Malang. Gak mungkin gak ada yang jual. Masih oleh-oleh Jawa Timur kok," kataku.
"Iya deh, nanti aku cari di sini aja," katanya.
Begitulah perbincangan paling sederhana ketika menebak arah pembicaraan seseorang. Pada saat itu, Andini berjanji akan datang ke Kediri, tapi karena dia akan sidang skripsi dia batalkan. Saya juga tidak menyangka dia membatalkan sidang skripsi itu karena belum siap. Dia pun kabur dari dosennya, dan dia mengatakan dia di Kediri, padahal dia di Malang. Ketika seseorang menitip sesuatu dari Kediri, sudah pasti menitip tahu kuning atau tahu takwa karena itu makanan khas di sana untuk dijadikan oleh-oleh.
Agak seram sebenarnya ketika teman-teman mulai menyebut saya "ahli nujum". Saya tidak merasa memiliki indera keenam atau apapun. Lagi-lagi saya menyadari, memprediksikan sesuatu menggunakan logika secara rasional, atau kita bisa menyebutnya intuisi. Secara tidak sadar, tapi ingin saja melakukan atau mengakatannya.
Komentar
Posting Komentar