Punya sindrom tidak? Saya tidak tahu apakah pengalaman saya ini bisa dikategorikan sebagai sindrom atau bukan. Phobia juga bukan, karena bukan hal yang ditakuti. Tapi sebelum lebih jauh, kita ketahui dulu pengertian sindrom. Menurut wikipedia.org, dalam ilmu kedokteran, sindrom adalah kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan. Kumpulan ini dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosis. Istilah sindrom dapat digunakan hanya untuk menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan diagnosa. Namun kadang-kadang, beberapa sindrom dijadikan nama penyakit contohnya, down sindrom. Tapi saya tidak mengalami down sindrom, bukan, bukan.
Saya kerap kali mengalami muntah mendadak ketika keesokan harinya ada momen tertentu yang membebani pikiran saya. Tidak ada tanda-tanda yang terjadi pada tubuh saya ketika akan mengalami hal ini. Namun, setelah muntah yang tiba-tiba itu, dokter selalu mendiagnosa saya mengalami "maag".
Pertama kali saya mengalami sindrom ini ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. Saya ingat sekali, saya bersama dua teman saya dipilih mewakili sekolah untuk mengikuti cerdas cermat tingkat Kota Tarakan waktu itu. Ada enam mata pelajaran yang akan ditandingkan, dan untuk memudahkan kami belajar, guru kami membagi tugas. Saya ditugaskan untuk mempelajari mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Saya belajar dengan sungguh-sungguh, karena itu kali kedua saya dipercaya untuk mengikuti cerdas cermat mewakili sekolah. Agar terbiasa dengan pertanyaan, saya dan teman-teman sering melakukan tanya jawab dari soal-soal yang ada di buku pelajaran.
Waktu terus berjalan. Suatu malam, saya tetap belajar meskipun sudah H-1. Saya belajar sendirian di kamar, lalu bapak menelepon.
"Kakak mau nasi goreng?"
"Mau," jawabku. Biasanya kalau urusan nasi goreng, bapak selalu membeli di Nasi Goreng Diva di Karang Anyar. Entahlah, kami rasa dulu nasi goreng itu enak dan porsinya pas.
Bapak pun pulang membawa nasi goreng. Saya makan nasi goreng itu di ruang keluarga, meninggalkan sejenak materi-materi SPOK, imbuhan, makhluk hidup berkembang biak, makhluk hidup bertahan hidup, tata surya dan lain sebagainya yang sudah memenuhi kepala saya.
Selesai makan, saya kembali ke kamar dan belajar lagi. Mendekati pukul 11 malam, saya ingin tidur. Baju seragam yang akan digunakan saat perlombaan juga sudah siap. Namun tiba-tiba, "hoooeeeekkkk". Saya muntah di kamar. Saya pun bingung kenapa saya muntah. Mama datang ke kamar dan memberi pertolongan pertama. Memberi minum dan minyak kayu putih untuk digosok di badan. Tapi tidak ada tanda-tanda sakit. Tidak dengan perut saya atau suhu tubuh yang meningkat. Biasa-biasa saja. Tapi muntah-muntah itu terus berlanjut hingga pagi hari. Saya tidak bisa memaksakan diri untuk mengikuti perlombaan. Bapak pun menelpon pihak sekolah agar saya digantikan dengan anak yang lain. Bapak ke sekolah membawakan baju seragam yang seharusnya saya kenakan. Posisi saya, digantikan oleh Ningrum.
Mendekati siang badan saya mulai panas. Saya demam, mama bawa saya ke dokter. Dokter bilang, saya maag. Padahal saya tidak terlambat makan, tidak makan pedas, atau melakukan hal-hal yang berpotensi mengalami maag.
Hari itu saya sedih, tidak bisa berkompetisi untuk sekolah. Semakin sedih karena tahu sekolah saya kalah dipenyisihan. Ya, Ningrum tentu saja belum siap menggantikan saya di beberapa jam sebelum perlombaan.
Ketika SMP kelas 1, sindrom itu muncul lagi. H-1 sebelum saya melakukan kunjungan ke Puskesmas. Saya lupa nama kegiatannya, tapi yang ke Puskemas ini anak-anak hasil survei "siapa teman dekat, teman cerita, teman curhat", begitu seingat saya. Nama kelompok anak-anak ini namanya PKPR kalau tidak salah.
Malah bukan H-1 lagi, tapi sebelum berangkat ke sekolah, saya muntah-muntah. Alhasil, saya istirahat di rumah saja.
Ketika SMA saya sudah tidak mengalami lagi sindrom seperti ini. Mungkin emosinya sudah lebih stabil ya? Atau bagaimana juga saya tidak begitu paham. Meskipun banyak kegiatan di SMA, tidak pernah sindrom ini muncul.
Tiba-tiba sindrom ini muncul lagi H-1 seminar proposal, ketika saya sudah satu langkah menuju gelar sarjana.
Siang itu saya ke kampus menemani Eni. Lalu kami makan siang bersama. Sampai rumah, saya tidur dulu sebelum mengeksekusi rencana yang telah diatur. Membuat presentasi, membuat pertanyaan yang kemungkinan ditanyakan, dan menunggu teman-teman saya datang ke rumah untuk membantu.
Saat tidur, tiba-tiba saya terbangun. Saya merasa ada yang menggelitik perut hingga kerongkongan saya hingga saya berlari ke kamar mandi, lalu, muntah. Agak sore teman-teman saya datang membantu mempersiapkan hari persidangan skripsi saya yang pertama. Mereka kaget melihat saya muntah-muntah. Saya tetap berusaha makan, tapi tetap saja tida bisa. Keluar lagi, keluar lagi. Sampai-sampai saya minum air putih saja. Teman-teman saya bermalam di rumah, ketika mereka tidur saya bolak-balik ke kamar mandi karena masih saja muntah-muntah. Karena tak ingin mengganggu tidur mereka, saya pun akhirnya tidur di depan tv, supaya dekat dengan kamar mandi.
Pagi harinya, saya usahakan tetap bisa sidang.
"Makan dulu, Fi," kata Putri.
"Gak bisa. Minum air putih aja sedikit. Aku bawa susu. Setelah seminarnya selesai, pasti sembuh aku," kataku.
"Ya udah gak papa. Kuat kan?" tanya Eni.
"Iya kuat kuat, InsyaAllah. Gak mungkin juga diundur-undur lagi," kataku.
"Umma heh, bisanya Alfi," kata Ratna.
Dengan segala kekuatan yang ada pada pagi hari itu, saya usahakan semuanya berjalan lancar. Meskipun seminar proposal saya aneh bin ajaib, jawaban saya ngaco, tapi setelah semua itu berakhir saya sembuh dengan sendirinya.
Adakah yang bisa menjelaskan, apa nama fenomena tersebut?
Saya kerap kali mengalami muntah mendadak ketika keesokan harinya ada momen tertentu yang membebani pikiran saya. Tidak ada tanda-tanda yang terjadi pada tubuh saya ketika akan mengalami hal ini. Namun, setelah muntah yang tiba-tiba itu, dokter selalu mendiagnosa saya mengalami "maag".
***
Pertama kali saya mengalami sindrom ini ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. Saya ingat sekali, saya bersama dua teman saya dipilih mewakili sekolah untuk mengikuti cerdas cermat tingkat Kota Tarakan waktu itu. Ada enam mata pelajaran yang akan ditandingkan, dan untuk memudahkan kami belajar, guru kami membagi tugas. Saya ditugaskan untuk mempelajari mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Saya belajar dengan sungguh-sungguh, karena itu kali kedua saya dipercaya untuk mengikuti cerdas cermat mewakili sekolah. Agar terbiasa dengan pertanyaan, saya dan teman-teman sering melakukan tanya jawab dari soal-soal yang ada di buku pelajaran.
Waktu terus berjalan. Suatu malam, saya tetap belajar meskipun sudah H-1. Saya belajar sendirian di kamar, lalu bapak menelepon.
"Kakak mau nasi goreng?"
"Mau," jawabku. Biasanya kalau urusan nasi goreng, bapak selalu membeli di Nasi Goreng Diva di Karang Anyar. Entahlah, kami rasa dulu nasi goreng itu enak dan porsinya pas.
Bapak pun pulang membawa nasi goreng. Saya makan nasi goreng itu di ruang keluarga, meninggalkan sejenak materi-materi SPOK, imbuhan, makhluk hidup berkembang biak, makhluk hidup bertahan hidup, tata surya dan lain sebagainya yang sudah memenuhi kepala saya.
Selesai makan, saya kembali ke kamar dan belajar lagi. Mendekati pukul 11 malam, saya ingin tidur. Baju seragam yang akan digunakan saat perlombaan juga sudah siap. Namun tiba-tiba, "hoooeeeekkkk". Saya muntah di kamar. Saya pun bingung kenapa saya muntah. Mama datang ke kamar dan memberi pertolongan pertama. Memberi minum dan minyak kayu putih untuk digosok di badan. Tapi tidak ada tanda-tanda sakit. Tidak dengan perut saya atau suhu tubuh yang meningkat. Biasa-biasa saja. Tapi muntah-muntah itu terus berlanjut hingga pagi hari. Saya tidak bisa memaksakan diri untuk mengikuti perlombaan. Bapak pun menelpon pihak sekolah agar saya digantikan dengan anak yang lain. Bapak ke sekolah membawakan baju seragam yang seharusnya saya kenakan. Posisi saya, digantikan oleh Ningrum.
Mendekati siang badan saya mulai panas. Saya demam, mama bawa saya ke dokter. Dokter bilang, saya maag. Padahal saya tidak terlambat makan, tidak makan pedas, atau melakukan hal-hal yang berpotensi mengalami maag.
Hari itu saya sedih, tidak bisa berkompetisi untuk sekolah. Semakin sedih karena tahu sekolah saya kalah dipenyisihan. Ya, Ningrum tentu saja belum siap menggantikan saya di beberapa jam sebelum perlombaan.
***
Ketika SMP kelas 1, sindrom itu muncul lagi. H-1 sebelum saya melakukan kunjungan ke Puskesmas. Saya lupa nama kegiatannya, tapi yang ke Puskemas ini anak-anak hasil survei "siapa teman dekat, teman cerita, teman curhat", begitu seingat saya. Nama kelompok anak-anak ini namanya PKPR kalau tidak salah.
Malah bukan H-1 lagi, tapi sebelum berangkat ke sekolah, saya muntah-muntah. Alhasil, saya istirahat di rumah saja.
***
Ketika SMA saya sudah tidak mengalami lagi sindrom seperti ini. Mungkin emosinya sudah lebih stabil ya? Atau bagaimana juga saya tidak begitu paham. Meskipun banyak kegiatan di SMA, tidak pernah sindrom ini muncul.
Tiba-tiba sindrom ini muncul lagi H-1 seminar proposal, ketika saya sudah satu langkah menuju gelar sarjana.
Siang itu saya ke kampus menemani Eni. Lalu kami makan siang bersama. Sampai rumah, saya tidur dulu sebelum mengeksekusi rencana yang telah diatur. Membuat presentasi, membuat pertanyaan yang kemungkinan ditanyakan, dan menunggu teman-teman saya datang ke rumah untuk membantu.
Saat tidur, tiba-tiba saya terbangun. Saya merasa ada yang menggelitik perut hingga kerongkongan saya hingga saya berlari ke kamar mandi, lalu, muntah. Agak sore teman-teman saya datang membantu mempersiapkan hari persidangan skripsi saya yang pertama. Mereka kaget melihat saya muntah-muntah. Saya tetap berusaha makan, tapi tetap saja tida bisa. Keluar lagi, keluar lagi. Sampai-sampai saya minum air putih saja. Teman-teman saya bermalam di rumah, ketika mereka tidur saya bolak-balik ke kamar mandi karena masih saja muntah-muntah. Karena tak ingin mengganggu tidur mereka, saya pun akhirnya tidur di depan tv, supaya dekat dengan kamar mandi.
Pagi harinya, saya usahakan tetap bisa sidang.
"Makan dulu, Fi," kata Putri.
"Gak bisa. Minum air putih aja sedikit. Aku bawa susu. Setelah seminarnya selesai, pasti sembuh aku," kataku.
"Ya udah gak papa. Kuat kan?" tanya Eni.
"Iya kuat kuat, InsyaAllah. Gak mungkin juga diundur-undur lagi," kataku.
"Umma heh, bisanya Alfi," kata Ratna.
Dengan segala kekuatan yang ada pada pagi hari itu, saya usahakan semuanya berjalan lancar. Meskipun seminar proposal saya aneh bin ajaib, jawaban saya ngaco, tapi setelah semua itu berakhir saya sembuh dengan sendirinya.
Adakah yang bisa menjelaskan, apa nama fenomena tersebut?
Komentar
Posting Komentar