Sejak kemarin di Balikpapan hujan lagi. Nah, sebelum kehilangan momen "Hujan Bulan Juni" yang menjalar ke bulan Juli selesai, saya ingin berbagi cerita tetang Michel. Saya pernah menuliskan ini di buku catatan saya awal Juli kemarin. Seingat saya ada kawan yang sudah pernah membacanya. Tidak masalah ya saya ulangi?
***
Balikpapan - Kamis, 5 Juli 2018
Izinkan saya kembali mengenang. Melewati batas antara dulu dan sekarang.
Malam ini hujan masih saja betah bernyanyi untuk Balikpapan. Suaranya membuat saya merasa dinina-bobokan. Angin yang masuk dari ventilasi, sela-sela pintu dan jendela menambah dinginnya hari, membuat betah mendekap selimut dan rela tidak makan. Katanya, hujan bulan Juni, tapi sudah bulan Juli hujan tak juga berhenti. Langit mungkin tahu, ada sakit yang masih belum terobati.
Sebab hujan, akan saya putar waktu menuju lima tahun yang lalu. November 2013, kala itu juga musim penghujan. Bulan November juga punya julukannya, "November Rain". Diiringi hujan pada 26 November 2013, saya memulai kisah dengan seorang pria. Kalau kalian menilainya dari fisik, kalian akan mengatakan bahwa saya beruntung. Pria ini memiliki tubuh yang tinggi, putih, beralis tebal, bermata tajam, dan berat badan yang ideal. Singkatnya, dia tampan.
Akan saya ceritakan lebih detail. Dia tidak sekadar tampan, tapi juga cerdas. Sebagai seorang wakil ketua himpunan mahasiswa saat pertama kali saya mengenalnya, sosoknya yang konyol ternyata menyimpan kewibawaan. Pandangannya yang terbuka untuk dunia membuatnya tampil sebagai seseorang yang berwawasan luas dan kritis. Tentu saja membuat saya terpana. Dia adalah senior saya di kampus, kakak tingkat angkatan 2011.
Dia bernama Michel. Pria kelahiran Sangkulirang, 22 September 1992. Berzodiak virgo, bershio monyet. Pria asal Kutai Timur yang tinggal di desa bernama, Muara Bulan, Kecamatan Karangan. Hobi bermain sepak bola, serta memiliki kemampuan mengerjakan tugas 15 menit sebelum dikumpulkan. Sangat pemalas, sekaligus rajin. Rajin bolos kuliah, sehingga membuatnya sering TBU (Tidak Bisa Ujian), dan mengakibatkan rentetan huruf "E" memenuhi transkip nilainya. Bukan berarti dia tak pintar karena barisan huruf "E" itu, dia hanya malas. Dia pintar, sangat pintar. Kemampuan beretorika, berpikiran kritis menjadi senjatanya saat presentasi. Nilainya pasti bagus jika dia mengikuti perkuliahan dengan baik, sanyangnya dia lebih suka bolos.
Saya bukan orang yang baik. Hanya saja dulu, saya berupaya untuk sama-sama melangkah ke arah yang lebih baik. Saya pun berjuang untuk dia. Saya sangat yakin jika dirinya bisa lebih baik, lebih sukses. Jika dibandingkan dengan saya, dia lebih sempurna secara pemikiran. Akal, tak-tik, visi misi, secara pemikiran dia bisa membungkam saya sebagai teman debatnya. Bedanya dia tidak melangkah, hanya bersuara. Sementara untuk mencapai apa yang saya inginkan, saya lebih rajin mengikuti proses yang ada di depan mata.
Sebenarnya, dari kemampuan yang dia miliki membuat saya percaya bahwa apa yang dimilikinya akan membawanya pada keberhasilan untuk membanggakan keluarganya, mengangkat derajat orangtuanya, sebab dia anak pertama. Tanggung jawabnya sungguh besar. Tapi anugerah yang dititipkan padanya itu disia-siakan, banyak yang ia lewatkan. Michel salah gaul.
Sebagai kekasihnya, saya berusaha memaklumi. Entah kenapa, perasaan selalu yakin kalau dia bisa lebih baik. Tiap kali bercerita, tiap berdiskusi tentang berbagai hal, saya percaya dia bisa sukses. Dia pernah mengatakan, ingin juga jadi dosen. Sudah saya bayangkan bagaimana jika angan-angan itu terwujud. Dia pasti jadi dosen idola.
Tapi ada kalanya saya pun ingin menyerah, tapi alasan untuk bertahan datang dari mamanya. Saya panggil mamanya "Ibu". Kami memang sudah sangat dekat, dia perkenalkan saya dengan semua keluarganya. Bukan hanya keluarga, tetangganya di kampung bahkan sudah lebih mengenal saya dengan memanggil saya, Mawar.
Setiap bulan Ibu selalu menelepon. Anehnya, Ibu selalu bertanya kabar Michel lewat saya. Padahal Ibu kan bisa saja langsung menelepon, karena itu anaknya. Tapi ada hal lain, tiap Ibu menelepon, Ibu selalu berpesan. "Mawar, temani Michel, ya" atau "Mawar, bantu Michel sampai dia selesai kuliahnya" atau "Mawar, cuma Michel satu-satunya harapan. Cuma dia yang bisa sekolah tinggi. Dulu dia ngotot supaya bisa kuliah".
Itulah beberapa alasan yang membuat saya bertahan, tanpa pernah saya sampaikan padanya. Michel pun pernah mengatakan, "sabarmu berbatas kah? Senakal-nakalnya aku, aku mau punya pasangan yang baik".
Lalu, mengapa kami berpisah? Dia pergi. Tapi tidak benar-benar pergi. Nanti akan saya ceritakan jika saya ingin.
Salam hangat...
Komentar
Posting Komentar