Seperti yang sudah saya janjikan di postingan sebelumnya. Saya akan membongkar kembali foto-foto saya di kelas 2 SMA hingga sekarang. Tapi kali ini lebih singkat saja. Karena ternyata saat saya memilih foto-foto lama, semuanya punya kenangan-kenangan unik.
Mari kita berkenalan lebih dekat lagi...
1. Mulai Mencintai Profesi Wartawan
Saat itu tahun 2010, 13 November 2010 lebih tepatnya. Saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan jurnalistik pemula yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Kota (FWK) Tarakan. Saya masih kelas 2 SMA saat itu. Dari pengalaman inilah akhirnya saya bisa terlibat dalam kegiatan surat kabar harian lokal di Kota Tarakan. Radar Tarakan namanya.
Sebenarnya, sejak awal masuk sekolah pun saya mengikuti ekstrakulikuler dengan bidang serupa. Saya menjadi anggota Tim Website. Tim ini bukan tim sembarangan, kami membuat dan mengurus website, dan menerbitkan berita terkait kegiatan sekolah. Jika di sekolahmu ada majalah sekolah, kami punya website. Sudah lebih maju dengan teknologi. Dan tentu saja, saya mengambil bagian di divisi jurnalis.
Dari sinilah permulaan menyukai dunia tulis menulis. Bukan berarti apa yang saya tulis bagus dan menarik, tetapi belajar menulis yang menantang kepekaan itu sangat saya nikmati. Hingga akhirnya saat naik kelas dua, saya mengambil jurusan IPS saat itu, saya dapatkan undangan pelatihan dari FWK dan mengikutinya bersama beberapa teman divisi jurnalis.
Mentor saya saat pelatihan ini adalah seorang penyiar radio bernama Kornelius, kami sapa dia Bang Kornel. Ada satu lagi, bernama Edy Suratman, wartawan desk kota dari Radar Tarakan. Terakhir yang saya ketahui tentang Bang Edy Suratman, beliau kini menjadi humas di Pemprov Kalimantan Utara.
Beliaulah yang mengajarkan saya bagaimana menyusun skema berita yang lebih baik, lalu saya praktikan untuk berita sekolah.
Foto ini, Bang Edy Suratman yang memotret. Saat itu saya dan teman-teman kelompok harus membuat satu berita untuk dikumpulkan. Satu-satunya ide saya hanya membuat berita jalan berlubang. Kebetulan saat itu kami praktik di Kelurahan Mamburungan, lubang di daerah itu banyak sekali.
Dan, jalan berlubang ini menjadi berita saya yang diterbitkan di surat kabar untuk pertama kalinya, di halaman kota. Bangganya saat itu. Perasaan itu terasa, sebab ternyata menulis berita tak semudah menulis pengalaman sehari-hari. Strukturnya berbeda, dan nyatanya tak semua orang bisa menulis berita dengan baik.
Lalu setelah selesai pelatihan selama dua hari, direkrutlah saya menjadi tim Expose Radar Tarakan. Saya kurang bisa mengingat bagaimana jalan ceritanya saat itu, tapi sepertinya lewat Facebook. Expose adalah halaman anak muda yang digarap dengan anak-anak muda dari berbagai sekolah. Sekarang dikenal dengan Zetizen. Iya, Radar Tarakan anak perusahaan dari Jawa Pos Group. Koordinatornya saat itu adalah Bang Sule alias Sultan Pradana inisial "nat". Bang Sule sekarang semakin maju, beliau baru-baru saja dilantik menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tarakan.
Memiliki kegiatan bersama Expose, saya tak sekadar belajar menulis, tapi juga sharing ilmu. Safari Diklat Jurnalistik dan Xpose Goes To School contohnya, adik-adik yang masih SMP ini juga dilatih untuk mengembangkan minat menulis. Kami juga merekrut beberapa yang berbakat.
Jadilah Xpose kala itu menjadi halaman yang digadrungi remaja-remaja di Tarakan. Ini menurut saya saja sih, karena tidak ada lagi pesaingnya. Selain itu konsepnya memang benar-benar menarik. Diterbitkan setiap Sabtu dan Minggu secara tematik, ada kolom opening, sub opening, cuap-cuap, kata beliau, bintang, dan komik. Semuanya dikerjakan anak-anak muda, editornya Bang Sule. Ngomong-ngomong karena ini pekerjaan yang dilakukan anak sekolah, jangan sampai salah paham. Saat itu, kami juga digaji kok.
Akhirnya saat naik kelas 3 semester dua, saya dan teman-teman lainnya harus undur diri. Masih boleh menulis, tapi tidak boleh aktif lagi. Begitu peraturaannya saat itu. Dan di sekolah, saya diangkat menjadi koordinator jurnalis. Memang harus regenerasi ya. Sejak saat itulah, saya bercita-cita ingin menjadi wartawan. Namanya juga anak sekolah, harus punya cita-cita. Apalagi saat dimintai biodata untuk buku tahunan. Jadi punya cita-cita itu wajib untuk formalitas.
2. Bukan Plakatnya, tapi . . .
Inilah bedanya lulusan zaman dulu dan sekarang. Zaman saya sudah lebih kekinian dengan nama acara "Award Night", iya, malam penghargaan. Siapa-siapa saja siswa-siswi berprestasi akan dipanggil satu per satu ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Saya satu di antara ratusan yang beruntung itu. Saya mendapatkan plakat untuk prestasi tingkat Provinsi bidang Ekonomi.
Tapi bukan tentang plakat yang membekas dari pikiran saya ketika kembali mengingat momen kelulusan mewah ini. Lulus sekolah zaman saya dengan yang sekarang sangat berbeda di riasannya. Dulu mencari tukang rias, sekarang lebih akrab dengan istilah MUA (Make Up Artist) sulit sekali. Belum semerajalela sekarang. Bahkan riasan di zaman saya lulus itu masih tergolong menor, model hijabnya pun berlebihan. Tidak seperti sekarang yang flawless dan lebih simple.
***
Saat itu, waktu untuk menghadiri Award Night 2012 adalah pukul 19.00 Wita. Tepat setelah maghrib. Acara dilaksanakan di Ballroom Hotel Tarakan Plaza. Saya akan dirias oleh teman tante saya yang bekerja di salon dan bisa dipanggil ke rumah. Dua teman saya meminta untuk bisa dirias juga di rumah saya. Jadi kami dirias bertiga. Kami sudah wudhu terlebih dulu sebelum dirias, supaya bisa tetap salat Maghrib. Menjelang waktu janjian, ternyata tukang riasnya tidak bisa datang karena di salon belum selesai. Tante saya pun menghubungi, katanya akan digantikan dengan temannya si tukang rias.
Tante saya kembali mengonfirmasi, kalau yang akan merias adalah seorang bencong.
"Gimana? Gak apa-apa kah?" kata tante.
"Ya, gimana? Ada yang lain kah?"
"Gak ada"
"Ya sudah. Tapi kami sudah wudhu"
"Bismillah... Nanti tayamum aja," tutup tante saya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kami pun dirias dengan seorang pria yang lebih lihai dalam memainkan foundation hingga bulu mata palsu. Setelah dirias, sudah azan Maghrib, kami pun berniat untuk salat. Dengan keadaan yang mendesak seperti itu, kami pun bertayamum.
Sampai sekarang, saya tidak tahu apakah Maghrib menjelang Award Night itu afdol atau tidak. Saya tidak mau tahu, biarlah menjadi urusan Tuhan saja. Setidaknya sekarang, kalau tukang rias mendadak tak bisa datang, saya sudah bisa merias wajah sendiri.
3. Jangan Tanya Konsentrasi Apa!
Setelah lulus SMA, saya melanjutkan kuliah di Samarinda. Dengan kemampuan yang saya miliki saat itu, saya percaya diri untuk masuk jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman (Unmul). Dulunya saya hanya tahu, setiap jurusan akan ada konsentrasinya. Ilmu Komunikasi biasanya ada konsentrasi di bidang Jurnalistik, Public Relations, Broadcasting, Periklanan, hingga Audio Visual. Ternyata di Unmul tidak ada. Konsentrasinya sejak awal semester adalah Public Relations (PR). Ya meskipun jurnalistik juga ada mata kuliahnya, tapi hanya sebagai mata kuliah pilihan.
Dulunya saya agak kecewa, tapi itu dulu sekali di awal-awal perkuliahan. Saat saya menuliskan pengalaman ini, sudah dua tahun yang lalu saya lulus kuliah dan tidak ada yang disesali.
Tapi anehnya dulu saya tidak tertarik untuk berorganisasi dan terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Padahal di kampus ada kok majalah kampus, terkenal banget malah. Berstatus mahasiswa, saya lebih suka menghabiskan waktu di kafe dan mall. Sepertinya.
4. Banding-bandingkan Riasan Wisuda
Saya diwisuda 21 Juli 2016 bersama tujuh orang teman sekelas saya. Saat wisuda, saya bersyukur yang menjadi tukang rias saya bukan lagi seorang bencong, melainkan salah seorang MUA terkenal di Samarinda, @icha_mss (akun Instagram).
Berias untuk hari istimewa itu, saya harus datang sebelum subuh ke rumahnya. Untungnya antara rumah saya dan kak Icha cukup dekat. Saya sudah di rumahnya pukul 4 dini hari, sebab harus antre dengan calon wisudawati yang lain. Tapi beruntunglah, di rumah Kak Icha bisa salat Subuh dengan lega. Masih bisa wudhu dengan air, tanpa kepikiran sah atau tidak.
Riasannya pun simple sekali. Kerudungku tidak diikat, dililit, digulung sana-sini. Cukup dengan kerudung segi empat, dilipat segitiga, lalu dikaitkan di bagian leher. Selesai.
Jika melihat foto di bawa ini, jangan salah fokus dengan selempangnya, Teman-teman saya memang jahil, saat saya keluar dari gedung GOR 27 September, mereka memberikan selempang ini. Saya menjadi perhatian orang-orang yang lewat, karena sejujurnya saya jomblo pada waktu itu.
5. Menjadi Bagian dari Tribun Kaltim
Entahlah, apakah wartawan masih menjadi bagian dari cita-cita saya atau tidak. Yang jelas, sudah tercapai sejak 2017 lalu.
Setelah lulus kuliah, saya tidak langsung bekerja. Jalan-jalan dulu, refreshing dulu. Januari 2017 saya melamar di Tribun Kaltim dan Kompas. Kedua-duanya mendapat panggilan. Hanya saja, Kompas yang berskala nasional prosesnya panjang. Interview pertama dilakukan di kota yang sudah ditentukan yakni, Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta. Meskipun Tribun Kaltim juga termasuk anak perusahaan Kompas Gramedia, tapi tidak ada pilihan kota Balikpapan. Kota terdekat adalah Surabaya, tes di Surya. Tapi saya tidak ambil tawaran interviewnya.
Setelah interview masih ada psikotest dan tes kesehatan di waktu yang berbeda. Menurutku sangat menghabiskan banyak waktu dan biaya, sementara saya sudah ingin bekerja. Jadilah saya memenuhi panggilan Tribun Kaltim di Balikpapan.
Saya masih berstatus magang terhitung 13 Februari 2017. Setahun berlalu, sekarang sudah menjadi karyawan tetap dan masih begini-begini saja.
Apa maksudnya begini-begini saja? Iya, masih jomblo.
***
Terima kasih bagi yang berkenan mengunjungi dan membaca. Sekian pekenalan dari saya. Tidak ada yang spesial tentang diri saya. Tapi bagaimanapun langkah yang kita tempuh di dunia ini berbeda-beda. Pilihan hidup, diri kitalah yang menentukan. Tapi takdir, tetap Tuhan yang punya.
Besok-besok akan saya ceritakan pengalaman yang lebih spesifik. Ini sebatas perkenalan saja.
Jika ingin lebih dekat lagi, silakan follow Instagram saya >>> @alfiramadhany <<<
Salam hangat...
Komentar
Posting Komentar