Apa yang bisa membuatmu memaknai hidup? Uang? Pasangan? Pasangan yang punya uang? Bukan! Ada yang lebih berharga untuk dihargai lebih dari materi. Penderitaan.
Ketika kita menginjakkan kaki di bumi, sudah ada janji yang telah disepakati dengan Sang Pencipta. Jika kesepakatan itu kita tolak, tidak akan kita terlahir di dunia ini. Itulah yang dinamakan takdir. Tapi takdir tidak serta merta melaksanakan tugasnya jika kita tidak memilih jalan mana yang ingin dilalui. Setelah memilih, takdir akan mengikuti.
Saya memilih untuk bekerja di Balikpapan. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Saya kurang yakin, apakah jarak antara Samarinda dan Balikpapan masih bisa disebut merantau. Tapi di sini, saya hidup lebih mandiri. Saya ngekost, berhemat, menangani masalah keuangan sendiri. Takdirnya, hidup di Balikpapan itu berat. Makanan serba mahal. Sesekali saya bisa makan enak dari satu rumah makan ke rumah makan yang lain. Nongkrong dari satu kafe ke kafe yang lain. Tapi tidak melulu seperti itu. Ada kalanya pengeluaran mendadak dilakukan, entah motor butuh dimanjakan, entah saya sakit. Lalu penghematan secara besar-besaran pun harus dilaksanakan.
Suatu malam, ketika keuangan menipis, saya hanya makan sekali saja dalam sehari. Biasanya saya sudah menyetok mie instan, pop mie, dan roti untuk di makan selang-seling. Semisal saya makan roti untuk sarapan, malamnya saya membeli nasi goreng seharga 15 ribu. Nasi goreng itu saya bagi dua, dimakan malam itu juga, dan untuk makan keesokan harinya. Berarti malamnya, saya makan roti atau mie instan.
Jika sudah bosan dengan siklus makan seperti itu, saya masak nasi sendiri. Lauknya beli di luar. Paling sering sih fried chicken, karena paling murah. Malah demi tidak menarik sisa uang di ATM, dengan uang receh saya beli pentol bakar untuk teman menyantap nasi. Begitulah sedikit gambaran kehidupan merantau saya.
Suatu ketika saya bersama Putri di Samarinda. Putri asal Balikpapan, dulu dia kuliah di Samarinda. So, dia pun pernah mengalami pahitnya menjadi anak rantau. Putri menyempatkan jalan-jalan ke Samarinda. Kami janjian untuk ngumpul dan makan bareng Ratna dan Fahri. Sebelum ke lokasi, kami menuju Tepian mencari pedagang Tahu Gunting. Camilan ini selalu kami beli saat zaman kuliah, dan dinikmati di Tepian Mahakam. Sebab membeli Tahu Gunting, Putri bercerita.
"Ya Allah... Kangennya aku makan Tahu Gunting"
"Syukurlah kan ke sini dulu," kataku sambil membuat Instastory.
"Gak bakal kulupakan. Tahu Gunting ini pernah jadi laukku makan pakai nasi. Huuu... Sedih nasib anak kost," ujarnya sambil tertawa dan menirukan suara tangis.
"Seriusan Put? Kok aku baru tau kalau soal ini?"
"Hahahahaa.. Buat dikenang-kenang sendiri aja," katanya masih sambil tertawa dan membuat Instastory.
Cerita yang saya tahu tentang Putri ketika ngekost dulu hanya tentang nasi tumpah. Katanya waktu itu dia memasak nasi sendiri. Entah seaktif apa tangannya, nasi di atas piringnya tumpah ke lantai kamarnya. Putri memunguti nasinya sambil menangis, dan tetap memakannya.
Padahal jika dia bilang, rumah saya di Samarinda selalu terbuka lebar untuk teman-teman saya. Tapi dia memilih untuk bertahan sendiri. Begitu pun saya ketika berada di Balikpapan. Segala penderitaan, sesederhana apapun itu, bersyukurlah ketika masih diberi kecukupan. Melalui penderitaan, ketika bisa menikmati lebih, jangan lupa bersyukur. Itu saja.
Akhir kata, saya akan mengutip kalimat seseorang yang pernah dia sampaikan di Pantai Lamaru, menikmati angin pantai dan deruan ombak, dimanjakan alam.
"Hidup prihatin itu perlu. Biar tau rasanya berjuang," katanya.
Salam hangat...
Ketika kita menginjakkan kaki di bumi, sudah ada janji yang telah disepakati dengan Sang Pencipta. Jika kesepakatan itu kita tolak, tidak akan kita terlahir di dunia ini. Itulah yang dinamakan takdir. Tapi takdir tidak serta merta melaksanakan tugasnya jika kita tidak memilih jalan mana yang ingin dilalui. Setelah memilih, takdir akan mengikuti.
Saya memilih untuk bekerja di Balikpapan. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Saya kurang yakin, apakah jarak antara Samarinda dan Balikpapan masih bisa disebut merantau. Tapi di sini, saya hidup lebih mandiri. Saya ngekost, berhemat, menangani masalah keuangan sendiri. Takdirnya, hidup di Balikpapan itu berat. Makanan serba mahal. Sesekali saya bisa makan enak dari satu rumah makan ke rumah makan yang lain. Nongkrong dari satu kafe ke kafe yang lain. Tapi tidak melulu seperti itu. Ada kalanya pengeluaran mendadak dilakukan, entah motor butuh dimanjakan, entah saya sakit. Lalu penghematan secara besar-besaran pun harus dilaksanakan.
***
Suatu malam, ketika keuangan menipis, saya hanya makan sekali saja dalam sehari. Biasanya saya sudah menyetok mie instan, pop mie, dan roti untuk di makan selang-seling. Semisal saya makan roti untuk sarapan, malamnya saya membeli nasi goreng seharga 15 ribu. Nasi goreng itu saya bagi dua, dimakan malam itu juga, dan untuk makan keesokan harinya. Berarti malamnya, saya makan roti atau mie instan.
Jika sudah bosan dengan siklus makan seperti itu, saya masak nasi sendiri. Lauknya beli di luar. Paling sering sih fried chicken, karena paling murah. Malah demi tidak menarik sisa uang di ATM, dengan uang receh saya beli pentol bakar untuk teman menyantap nasi. Begitulah sedikit gambaran kehidupan merantau saya.
Suatu ketika saya bersama Putri di Samarinda. Putri asal Balikpapan, dulu dia kuliah di Samarinda. So, dia pun pernah mengalami pahitnya menjadi anak rantau. Putri menyempatkan jalan-jalan ke Samarinda. Kami janjian untuk ngumpul dan makan bareng Ratna dan Fahri. Sebelum ke lokasi, kami menuju Tepian mencari pedagang Tahu Gunting. Camilan ini selalu kami beli saat zaman kuliah, dan dinikmati di Tepian Mahakam. Sebab membeli Tahu Gunting, Putri bercerita.
"Ya Allah... Kangennya aku makan Tahu Gunting"
"Syukurlah kan ke sini dulu," kataku sambil membuat Instastory.
"Gak bakal kulupakan. Tahu Gunting ini pernah jadi laukku makan pakai nasi. Huuu... Sedih nasib anak kost," ujarnya sambil tertawa dan menirukan suara tangis.
"Seriusan Put? Kok aku baru tau kalau soal ini?"
"Hahahahaa.. Buat dikenang-kenang sendiri aja," katanya masih sambil tertawa dan membuat Instastory.
Cerita yang saya tahu tentang Putri ketika ngekost dulu hanya tentang nasi tumpah. Katanya waktu itu dia memasak nasi sendiri. Entah seaktif apa tangannya, nasi di atas piringnya tumpah ke lantai kamarnya. Putri memunguti nasinya sambil menangis, dan tetap memakannya.
Padahal jika dia bilang, rumah saya di Samarinda selalu terbuka lebar untuk teman-teman saya. Tapi dia memilih untuk bertahan sendiri. Begitu pun saya ketika berada di Balikpapan. Segala penderitaan, sesederhana apapun itu, bersyukurlah ketika masih diberi kecukupan. Melalui penderitaan, ketika bisa menikmati lebih, jangan lupa bersyukur. Itu saja.
Akhir kata, saya akan mengutip kalimat seseorang yang pernah dia sampaikan di Pantai Lamaru, menikmati angin pantai dan deruan ombak, dimanjakan alam.
"Hidup prihatin itu perlu. Biar tau rasanya berjuang," katanya.
Salam hangat...
Komentar
Posting Komentar